Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi di awal 2022 bisa mengikuti jejak capaian pertumbuhan positif pada akhir 2021. Khususnya, untuk mendorong pertumbuhan sesuai target sebesar 5,2 persen di akhir 2022.
Sejalan dengan hal tersebut, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa upaya penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional bisa mendorong pertumbuhan hingga 5 persen pada tiga bulan pertama 2022.
"Pemerintah meyakini bahwa koordinasi dan sinergi dengan seluruh stakeholders dalam menerapkan strategi pemulihan ekonomi akan membuat ekonomi tumbuh di kisaran 4,0%-5,0% (yoy) di Triwulan I-2022. Hal itu akan mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2% (yoy) di akhir 2022 mendatang," ucapnya seperti dikutip dari siaran resmi, Selasa (8/2/2022).
Adapun, Badan Pusat Statistik (BPS) sebelumnya melaporkan bahwa PDB Indonesia tumbuh 5,02 persen pada kuartal IV/2021. Hal tersebut mendorong pertumbuhan untuk sepanjang tahun lalu sebesar 3,69 persen.
Dengan angka pertumbuhan tersebut, PDB per kapita Indonesia meningkat ke Rp62,2 juta atau setara dengan US$4.349,5, lebih tinggi dari PDB per kapita sebelum pandemi yakni Rp59,3 juta pada 2019.
Airlangga mengklaim bahwa kinerja pada akhir 2021 telah meningkatkan keyakinan pasar terhadap pemulihan ekonomi dalam negeri. Sinyal positif terkait dengan prospek perekonomian Indonesia diharapkan bisa berlanjuta di tahun ketiga pandemi Covid-19.
Baca Juga
"Pertumbuhan ekonomi di triwulan IV/2021 telah meningkatkan keyakinan pasar terhadap pemulihan ekonomi Indonesia. Hal itu tercermin dari penguatan IHSG yang telah melampaui indeks psikologis 6.800. Kami meyakini momentum pemulihan ekonomi akan terus berlanjut di 2022. Peningkatan Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur Indonesia ke level 53,7 di Januari 2022 juga menjadi sinyal positif terhadap prospek ekonomi Indonesia di tahun ini," tuturnya.
Sejumlah upaya untuk menstimulasi permintaan masyarakat juga dilakukan. Misalnya, penyaluran lebih dini atau front-loading sejumlah bansos dan insentif melalui PEN 2022 pada kuartal I/2022. Beberapa program yang disalurkan lebih awal seperti insentif PPnBM otomotif, PPN DTP properti, subsidi bunga KUR 3 persen, dan bantuan tunai untuk PKL, warung, dan nelayan.
Kendati demikian, untuk sepanjang 2022, pemerintah tetap perlu mengantisipasi sejumlah risiko global yang ditimbulkan oleh dinamika pandemi, kondisi geopolitik, dan normalisasi kebijakan ekonomi negara maju.
Wakil Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan pemerintah perlu memfokuskan kebijakan anggaran untuk mengatasi pandemi Covid-19, guna memulihkan ekonomi. Dia menyebut pemerintah perlu menyiapkan segala amunisi kebijakan maupun anggaran untuk empat risiko.
Pertama, mutasi virus pemicu Covid-19. "Kemungkinan kalau katakan lah dalam tiga bulan ke depan ada lonjakan kasus, berarti probabilitas untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen sejak triwulan pertama [2022] saja sudah agak sulit. Padahal, kalau mau tumbuh 5,2 persen secara tahunan kalau dibagi rata berarti setiap triwulan harus tumbuh di atas 5 persen," jelas Eko pada webinar, Selasa (8/2/2022).
Kedua, gejolak harga minyak yang sudah melonjak. Lonjakan harga energi yang awalnya dipengaruhi oleh faktor musiman, jelas Eko, kini dipicu oleh kondisi geopolitik. Contohnya yaitu isu Rusia-Ukraina.
"Kalau ini terus-terusan naik, dugaan kami bisa menebus US$100 per barel, itu implikasinya tidak mudah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi dengan situasi geopolitik yang demikian," tuturnya.
Ketiga, lonjakan harga komoditas dengan risiko inflasi mengintai setelahnya. Namun, Eko memprakirakan lonjakan inflasi akibat harga komoditas tidak akan langsung terjadi di dalam negeri. Hal itu karena daya beli masyarakat yang masih rendah hingga saat ini.
Keempat, pengurangan pembelian aset oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve. Seiring dengan inflasi AS yang sudah melebihi target, Fed akan mengurangi pembelian obligasi dari pemerintah sehingga berimplikasi pada kenaikan federal fund rate (FFR).
"Implikasinya di kita [Indonesia] tentu akan tetap menimbulkan gejolak walaupun momentumnya tidak akan lama. Kita relatif siap dengan cadangan devisa yang tinggi. Namun, jika berbarengan dengan kondisi geopolitik dan risiko lain, maka harus dipersiapkan skenario juga supaya kita bisa mengendalikan dampaknya," jelasnya.
Eko memprakirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2022 akan lebih rendah dari capaian 2021. Hal tersebut sejalan dengan menurunnya perekonomian global sebagaimana diprakirakan oleh IMF, serta baseline pertumbuhan yang berbeda antara 2022 dan tahun sebelumnya.
Sebagai informasi, IMF memperkirakan ekonomi global tumbuh sebesar 4,4 persen di 2022 dan semakin menurun ke 3,8 persen pada 2023. Proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pun ikut dipangkas ke 5,6 persen dari proyeksi sebelumnya yakni 5,9 persen.
"Tahun ini adalah fase pemulihan, namun diperkirakan pertumbuhan di 2022 lebih rendah. Karena melihat tantangan-tantangan bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga secara global, tidak gampang. Selain itu, secara baseline [pertumbuhan ekonomi] 2021 dengan 2022 dan juga 2020 dengan 2021 juga beda," ungkapnya.