Bisnis.com, JAKARTA – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa memaparkan bahwa sejatinya biaya pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat menyaingi pembangkit fosil dengan mekanisme tertentu.
Dia mengatakan bahwa saat ini PLTS skala besar telah mencapai nilai yang kompetitif dibandingkan dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) baru pada 2023. Menurutnya, penurunan harga dapat ditempuh salah satunya melalui lelang.
Dalam kasus ini, Fabby mengambil contoh pengembangan PLTS 100 megawatt (MW) di Kamboja. Pembangkit tersebut kemudian dihargai US$4 sen per kWh.
“Menurut saya, kunci untuk menurunkan harga PLTS itu dengan menurunkan [menerapkan] auction dilakukan skala besar. Ini bisa mempercepat penurunan harga PLTS dan mempercepat juga transisi energi di Indonesia,” katanya saat webinar, Senin (7/2/2022).
Lebih lanjut, kajian IESR menemukan bahwa PLTS ditambah dengan Battery Energy Storage System (BESS) akan lebih murah daripada PLTU pada 2027. Bahkan menurut Fabby, sebagian besar biaya PLTU saat ini jauh lebih mahal dibandingkan dengan PLTS + BESS.
Di samping itu, Direktur Perencanaan Korporat PLN Evy Haryadi mengatakan bahwa dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021–2030 telah ditetapkan kebutuhan pembangkit listrik tenaga energi baru terbarukan (EBT) base load sebesar 1,1 gigawatt (GW).
Baca Juga
Pembangkit listrik tenaga EBT base load tersebut merupakan pembangkit energi terbarukan yang mampu menggantikan pembangkit fosil dengan biaya pokok produksi (BPP) listrik lebih murah, dan dapat beroperasi selama 24 jam.
Apabila pemerintah menggunakan pembangkit intermiten seperti PLTS, maka diperlukan BESS untuk memastikan agar daya listrik terus mengalir selama 24 jam.
“Tantangannya, bagaimana kami bisa mengganti energi fosil seharga US$6 sen–US$8 sen per kWh dengan energi PLTS + BESS yang sekitar US$18 sen–US$21 sen per kWh,” katanya.
Dari harga tersebut, artinya masih terjadi selisih harga sekitar US$12 sen–US$13 sen per kWh. Bila 1,1 GW pembangkit listrik tenaga EBT base load menghasilkan 7,7 terawatt hour, maka selisih harganya dapat mencapai Rp13 triliun. Angka ini didapat dari perhitungan 7,7 TWh x US$12 sen/kWh x Rp14.500.
Sebab itu, kata Evy, diperlukan inovasi teknologi agar harga PLTS + BESS dapat bersaing dengan PLTU pada harga US$6 sen–US$8 sen per kWh.