Bisnis.com, JAKARTA – Tingkat konsumsi masyarakat memperlihatkan sinyal bertahan di level pemulihan. Tetapi, pelaku usaha tetap berhati-hati dalam mengeksekusi rencana bisnis pada 2022.
Koordinator Wakil Ketua Umum III Kadin Indonesia bidang Maritim, Investasi, dan Luar Negeri Shinta W. Kamdani mengatakan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Desember 2021 yang tercatat sebesar 118,3 memang memberikan optimisme. Kendati demikian, dia mengatakan tingkat konsumsi belum cukup kuat.
Dia mengatakan Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) pada Desember 2021 sebesar 99,9 masih berada pada kondisi pesimistis. Hal ini menjadi indikasi bahwa masyarakat cenderung menahan konsumsi karena pesimisme pada kondisi saat ini.
Shinta juga menilai optimisme konsumen belum solid. Hal ini dibuktikan dengan penjualan ritel yang masih terkontraksi sepanjang Januari sampai Maret dan Juli sampai September 2021 seiring dengan pembatasan.
“Pertumbuhan penjualan ritel tertinggi juga hanya dicapai pada momen Ramadan dan Idulfitri. Di sektor riil lain juga sama, kinerja masih di bawah kinerja level sebelum pandemi,” katanya, Senin (10/1/2022).
Pelaku usaha memperkirakan bertambahnya beban seperti kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) dan indikasi kenaikan harga energi bakal membuat tingkat konsumsi masyarakat melambat pada 2022. Perlambatan bisa makin jelas apabila pandemi tidak terkontrol dan Indonesia terlambat mencapai kekebalan komunitas.
Shinta mengemukakan daya beli dapat dipertahankan, bahkan ditingkatkan, dengan menempuh sejumlah upaya. Diantaranya dengan memastikan tidak ada batasan mobilitas masyarakat sepanjang 2022 dan memastikan adanya peningkatan efisensi biaya usaha di sektor nonenergi untuk menutup penurunan daya saing usaha yang terimbas kenaikan harga energi.
“Bisa pula dengan mendongkrak investasi dan perdagangan atau ekspor melalui insentif produktif,” tambahnya.
Shinta tetap meyakini Indonesia punya momentum pemulihan ekonomi pada 2022, terlepas adanya sejumlah faktor penghambat seperti stimulus yang berkurang dan kenaikan pajak. Dia mengatakan faktor-faktor ini tetap memengaruhi rencana ekspansi usaha pada 2022, terutama pada sektor yang sensitif terhadap perubahan biaya.
“Pelaku usaha lebih wait and see menunggu seberapa jauh peningkatan beban usaha yang akan terjadi dan bagaimana respons pasar terhadap perubahan tersebut.”