Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkap alasan di balik larangan ekspor batu bara yang diterapkan pada awal 2022.
Menurut bendahara negara, kebijakan tersebut diambil untuk menghindari krisis energi dan risiko inflasi seperti yang dialami oleh sejumlah negara. Sri Mulyani mengatakan terdapat berbagai faktor yang memicu lonjakan inflasi di sejumlah negara.
Dia mengatakan kebijakan teranyar pemerintah untuk melarang ekspor batubara pada 1-31 Januari 2022, dilakukan untuk menghindari adanya krisis energi di dalam negeri dan risiko inflasi yang mengikuti.
"Kita kalau ingin supaya pemulihan ekonomi tidak terancam oleh inflasi yang tinggi, maka kita juga harus lihat [faktor-faktor] itu," jelas Sri Mulyani pada konferensi pers Realisasi APBN 2021 di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (3/1/2022).
Adapun, sejumlah negara misalnya China, mengalami krisis energi sehingga memicu lonjakan kenaikan harga sejumlah komoditas, utamanya batu bara.
Kendati ekspor batu bara turut memberikan sumbangan besar terhadap ekspor Indonesia, Sri Mulyani menyebut pemerintah perlu mengambil pilihan kebijakan.
Baca Juga
Larangan ekspor batu bara, kata Sri Mulyani, ditujukan utamanya untuk menjaga keberlanjutan pasokan listrik dalam negeri. Karena, batu bara masih menjadi sumber daya utama yang mendominasi pembangkit listrik di Indonesia.
"Pilihan yang sulit dalam perekonomian itu seperti: apakah listrik di Indonesia mati tapi tetap kita ekspor? Kalau listriknya mati di Indonesia tapi tetap ekspor, ya di Indonesia akhirnya pemulihan terancam," jelasnya.
Sri Mulyani mengakui bahwa pengambilan kebijakan tersebut pasti menyebabkan adanya pengorbanan. Dia mengatakan kebijakan yang ingin diambil oleh otoritas diusahakan berdampak minim bagi perekonomian rakyat, dengan distorsi yang minim pula.
Menurutnya, apabila kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) berjalan dengan baik, maka keputusan larangan eskpor tidak akan diambil oleh pemerintah. Namun, dia memaklumi bahwa opportunity untuk melakukan ekspor batu bara sangat tinggi, sejalan dengan tingginya harga komoditas tersebut.
"Nah, ini akan ada implikasi dari policy-nya. Kita akan lihat akan ada pilihan mengenai harga batu bara, mengenai DMO, ada harga listrik dalam negeri, dan komitmen kontrak luar negeri," terangnya.
Larangan ekspor batu bara juga diperkirakan berdampak minim terhadap penerimaan negara. Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan tersebut berpotensi bersifat sementara.
"Kalau pun ada [dampaknya], itu akan sementara. Karena ini sifatnya untuk memastikan tidak terjadi shock bagi suplai listrik kita. Tampaknya, kita bisa melakukan itu dengan hati-hati. Kalau pun ini sementara, tentunya dampak terhadap penerimaan dan neraca dagang juga akan sangat sementara," jelas Menkeu.
Adapun, sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan larangan ekspor kepada perusahaan tambang batu bara pada 1–31 Januari 2022. Kebijakan itu diambil seiring dengan pasokan batu bara di pembangkit listrik semakin menipis.
Kementerian ESDM menyebut bahwa setidaknya 20 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), baik milik PLN maupun independent power producer (IPP) mengalami defisit pasokan batu bara. Hal tersebut berpotensi mengganggu keandalan listrik bagi 10 juta lebih pelanggan PLN.
Kebijakan itu pun mengundang reaksi dari perusahaan tambang. Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menilai aturan tersebut dibuat dengan tergesa-gesa. Mereka bahkan sempat meminta agar Menteri ESDM mencabut aturan tersebut.