Bisnis.com, JAKARTA — Pelarangan ekspor batu bara yang berlangsung selama bulan ini dinilai sebagai peringatan kepada perusahaan pertambangan untuk mematuhi ketentuan domestic market obligation (DMO) sebesar 25 persen.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan selain pelanggaran terhadap kewajiban volume pasokan, pengusaha tambang juga tidak taat terhadap patokan harga.
Padahal, dalam Keputusan Menteri ESDM No. 139.K/2021 tentang pemenuhan batu bara dalam negeri, selain diatur DMO 25 persen juga patokan harga sebesar US$70 per metrik ton.
"Mereka kasih harga ke kami naik sampai US$140 sampai US$160 yang asalnya US$70 per ton. Mereka kan tidak taat DMO dan harga," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (4/1/2022).
Redma mengatakan larangan sementara pengapalan batu bara sudah tepat diputuskan pemerintah, terutama untuk membendung potensi turunnya kinerja manufaktur termasuk ekspor.
Dengan alasan efisiensi, banyak industriawan tekstil yang awalnya memiliki pembangkit listrik mandiri, mengalihkan konsumsi energinya ke PLN. Kepastian pasokan batu bara ke PLN akan turut menjaga stabilitas utilisasi industri tekstil.
"Kalau batu bara diekspor terus, ekspor yang lain, seperti tekstil, makanan minuman, semuanya akan turun. Begitu ekspor turun, multiplier-nya adalah tenaga kerja, banyak yang akan lay off," jelasnya.
Mengutip pemberitaan di Harian Bisnis Indonesia, Selasa (4/1/2022), tata kelola pemenuhan aturan DMO batu bara oleh perusahaan tambang tak berjalan dengan baik. Hanya 85 perusahaan saja yang memenuhi DMO 100 persen, sedangkan 489 perusahaan memenuhi pasokan domestik di bawah 15 persen.