Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah masih harus menghadapi tantangan untuk mengembalikan angka defisit anggaran belanja dan pendapatan negara (APBN) di bawah 3 persen dari PDB pada 2023.
Pada 2021, Kementerian Keuangan mencatat defisit APBN mencapai Rp783,7 triliun atau 4,65 persen dari PDB. Capaian tersebut jauh lebih rendah dari proyeksi awal pemerintah pada kisaran 5,1 hingga 5,4 persen.
Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI Teuku Riefky berpendapat meski capaian defisit pada 2021 jauh lebih baik dari perkiraan sebelumnya, pemerintah masih memiliki tantangan untuk menekan angka defisit pada tahun ini.
Pasalnya, menurut Riefky, penerimaan pajak yang mencapai Rp1.277 triliun atau 103,9 persen dari target APBN 2021 terbantu oleh harga komoditas yang melonjak tinggi pada tahun itu.
Sementara pada 2022, peningkatan harga komoditas diperkirakan akan kembali normal, sehingga potensi penerimaan pajak diperkirakan lebih terbatas.
“Jika harga komoditas kembali normal di 2022, defisit APBN akan meningkat lagi karena dari sisi penerimaannya akan turun lagi. Ini memiliki potensi risiko karena di 2023 pemerintah harus mengembalikan defisit ke 3 persen,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Baca Juga
Oleh karena itu, Riefky mengatakan transisi tersebut harus dilakukan dengan baik, agar pemerintah tidak perlu meningkatkan penerimaan secara drastis yang dikhawatirkan akan mengganggu pemulihan sektor riil.
Namun demikian, dia memperkirakan defisit APBN akan kembali meningkat ke level 4,7 hingga 4,8 persen dikarenakan penerimaan pajak berpotensi mengalami penurunan, sementara belanja negara tetap tinggi.
“Jadi dugaan kita defisit masih dikisaran 4,7 hingga 48 persen. Dari sisi penerimaan akan relatif menurun sementara belanja mengalami peningkatan,” jelasnya.
Adapun pada 2021, Kemenkeu mencatat pendapatan negara mencapai Rp2.003,1 triliun atau tumbuh 21,6 persen secara tahunan.
Sementara, belanja negara pada 2021 tercatat sebesar Rp2.786,8 triliun atau meningkat sebesar 7,4 persen secara tahunan.