Bisnis.com, JAKARTA — Aturan teknis pelaksanaan program pengungkapan sukarela atau PPS telah terbit dan siap berlaku mulai 1 Januari 2022.
Pemerintah meyakini program tersebut dapat memberikan manfaat besar bagi wajib pajak sekaligus menambah pendapatan negara.
Menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Neilmaldrin Noor, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan atau PMK Nomor 196/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan PPS Wajib Pajak. Beleid itu ditetapkan pada 22 Desember 2021 dan diundangkan sehari setelahnya.
Neil menjelaskan bahwa beleid itu merupakan aturan pelaksanaan PPS sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Terbitnya PMK 196/2021 membuat PPS siap berlaku selama enam bulan, yakni 1 Januari 2022 hingga 30 Juni 2022.
"PPS adalah kesempatan yang diberikan kepada WP untuk mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran pajak penghasilan [PPh] berdasarkan pengungkapan harta," ujar Neilmaldrin pada Senin (27/12/2021).
Menurutnya, wajib pajak akan memperoleh banyak manfaat saat mengikuti PPS, di antaranya adalah terbebas dari sanksi administratif. Lalu, terdapat perlindungan data, yakni data harta yang diungkapkan tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap wajib pajak.
"PPS diselenggarakan dengan asas kesederhanaan, kepastian hukum, dan kemanfaatan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela WP sebelum penegakan hukum dilakukan dengan basis data dari pertukaran data otomatis [AEoI] dan data ILAP yang dimiliki DJP," ujar Neil.
Berikut penjelasan lengkap mengenai PPS atau yang sering disebut 'Tax Amnesty Jilid II':
1. Ruang Lingkup Kebijakan
Terdapat dua kebijakan dalam PPS yang berlaku nanti, yakni Kebijakan I bagi wajib pajak orang pribadi dan badan yang merupakan peserta tax amnesty jilid pertama, lalu Kebijakan II bagi wajib pajak orang pribadi yang belum melaporkan harta perolehan pada 2016—2020 dalam surat pemberitahuan tahunan (SPT) 2020.
Basis pengungkapan Kebijakan I adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkapkan saat peserta mengikuti Tax Amnesty. Lalu, tarifnya adalah 11 persen untuk harta deklarasi Luar Negeri (LN), 8 persen untuk harta Luar Negeri (LN) repatriasi dan harta deklarasi Dalam Negeri (DN), serta 6 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/renewable energy.
Basis pengungkapan Kebijakan II adalah harta perolehan 2016—20 yang belum dilaporkan dalam SPT 2020. Lalu, tarifnya adalah 18 persen untuk harta deklarasi LN, 4 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN, serta 12 persen untuk harta LN repatriasi dan harta deklarasi DN yang diinvestasikan dalam SBN/hilirisasi SDA/renewable energy.
Untuk kebijakan II, harus memenuhi syarat tidak sedang diperiksa atau dilakukan pemeriksaan bukti permulaan untuk tahun pajak 2016, 2017, 2018, 2019, dan 2020; tidak sedang dilakukan penyidikan, dalam proses peradilan, atau sedang menjalani tindak pidana di bidang perpajakan.
2. Tata Cara Pengungkapan
• Pengungkapan dilakukan dengan Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH) yang disampaikan secara elektronik melalui laman https://pajak.go.id/pps.
• SPPH dilengkapi dengan:
a. SPPH induk;
b. Bukti pembayaran PPh Final;
c. Daftar rincian harta bersih;
d. Daftar utang;
e. Pernyataan repatriasi dan/atau investasi.
Tambahan kelengkapan untuk peserta kebijakan II:
a. Pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum);
b. Surat permohonan pencabutan Banding, Gugatan, Peninjauan Kembali.
• Peserta PPS dapat menyampaikan SPPH kedua, ketiga, dan seterusnya untuk membetulkan SPPH apabila ada perubahan harta bersih atau kesalahan tulis, hitung, atau perubahan tarif.
• Peserta PPS dapat mencabut keikutsertaan dalam PPS dengan mengisi SPPH selanjutnya dengan nilai 0. Peserta PPS yang mencabut SPPH dianggap tidak ikut PPS dan tidak dapat lagi menyampaikan SPPH berikutnya.
• Pembayaran dilakukan dengan menggunakan Kode Akun Pajak (KAP) PPh Final 411128 dan Kode Jenis Setoran (KJS) untuk kebijakan I, 427, untuk kebijakan II, 428. Pembayaran tidak dapat dilakukan dengan Pemindahbukuan (Pbk).
• PPh Final yang harus dibayarkan sebesar tarif dikali nilai harta bersih (harta dikurang utang).
• Untuk kebijakan I, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2015, yaitu:
a. Nilai nominal, untuk harta kas atau setara kas.
b. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah/bangunan dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) untuk kendaraan bermotor.
c. Nilai yang dipublikasikan oleh PT Aneka Tambang Tbk., untuk emas dan perak.
d. Nilai yang dipublikasikan oleh PT Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk saham dan waran yang diperjualbelikan di PT BEI.
e. Nilai yang dipublikasikan oleh PT Penilai Harga Efek Indonesia untuk SBN dan efek bersifat utang/sukuk yang diterbitkan perusahaan.
f. Jika tidak ada pedoman, menggunakan hasil penilaian Kantor Jasa Penilaian Publik (KJPP).
• Untuk kebijakan II, pedoman yang digunakan untuk menghitung besarnya nilai harta per 31 Desember 2020, yaitu:
a. Nilai nominal, untuk kas atau setara kas.
b. Harga perolehan, untuk selain kas atau setara kas.
c. Jika tidak diketahui, menggunakan nilai wajar per 31 Desember 2020 dari harta sejenis atau setara berdasarkan penilaian wajib pajak.
3. Ketentuan Repatriasi
• Repatriasi atau pengalihan harta ke Indonesia dilakukan paling lambat 30 September 2022 melalui bank.
• Harta bersih yang dialihkan ke Indonesia tidak dapat dialihkan ke luar wilayah Indonesia (holding period) paling singkat selama 5 tahun terhitung sejak Surat Keterangan diterbitkan. Holding period ini berlaku pula untuk aset deklarasi dalam negeri.
4. Ketentuan Investasi
• Investasi dilakukan pada hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA)/renewable energy atau investasi Surat berharga Negara (SBN). Investasi pada hilirisasi SDA/renewable energy dapat dilakukan dalam bentuk pendirian usaha baru atau penyertaan modal. Untuk investasi SBN dilakukan di pasar perdana dengan mekanisme private placement melalui Dealer Utama dengan menunjukkan Surat Keterangan.
• Investasi dilakukan paling lambat 30 September 2023.
• Investasi dilakukan paling singkat (holding period) 5 tahun sejak diinvestasikan.
• Investasi dapat dipindahkan ke bentuk lain setelah minimal 2 tahun. Perpindahan antarinvestasi maksimal 2 kali dengan maksimal 1 kali perpindahan dalam 1 tahun kalender. Perpindahan investasi diberikan maksimal jeda 2 tahun. Jeda waktu perpindahan antarinvestasi menangguhkan holding period 5 tahun.
• Peserta PPS dengan komitmen repatriasi dan/atau investasi wajib menyampaikan laporan realisasi investasi melalui laman DJP paling lambat saat berakhirnya batas penyampaian SPT Tahunan.
5. Ketentuan lainnya
• Bagi peserta PPS kebijakan I yang sampai PPS berakhir masih ada harta yang belum diungkapkan pada saat mengikuti TA 2016 dikenai PPh Final atas harta bersih tambahan dengan tarif 25 persen (Badan), 30 persen (OP), dan 12,5 persen (WP tertentu) ditambah sanksi 200 persen (Pasal 18 (3) UU Pengampunan Pajak).
• Bagi peserta PPS kebijakan II yang sampai PPS berakhir masih ada harta yang belum diungkapkan dalam SPPH dikenai PPh Final atas harta bersih tambahan dengan tarif 30 persen (Pasal 11 (2) UU HPP) ditambah sanksi Pasal 13 (2) UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
• Bagi peserta kebijakan I yang wanprestasi repatriasi/investasi sampai batas waktu repatriasi/investasi yang ditentukan, dikenakan tambahan PPh Final: