Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah diminta untuk mewaspadai kebijakan China dan India terhadap transisi energi. Pasalnya, kedua negara tersebut menyumbang 54 persen dari total ekspor batu bara Indonesia.
Ketua Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan bahwa kebijakan transisi energi kedua negara tersebut akan memengaruhi peta jalan batu bara dalam negeri.
Saat ini, Indonesia menjadi salah satu eksportir terbesar batu bara. Sekitar 75 persen dari total produksi tahunan disalurkan ke pasar ekspor dengan pangsa terbesar China dan India. Sementara itu, 25 persen sisanya untuk kebutuhan dalam negeri.
Tahun ini pemerintah merencanakan produksi batu bara sebesar 625 juta ton. Namun begitu, IMEF memproyeksikan produksi komoditas itu hanya mencapai 615 juta ton sampai akhir tahun.
“Impor batu bara kita hanya sebatas China dan India sebesar 54 persen. Ini menjadi critical, bagaimana India dan China [melakukan transisi energi], dan bagaimana menyikapi kondisi kita sendiri,” katanya saat webinar, Selasa (14/12/2021).
Menurutnya, pemerintah harus menyikapi persoalan tersebut secara serius. Bila terlambat, maka bukan tidak mungkin produksi batu bara akan mengalami penurunan tajam mulai 2025.
Baca Juga
Adapun di dalam negeri, komoditas batu bara dominan digunakan untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. Komoditas itu berkontribusi sekitar 66,1 persen dari total pembangkit listrik nasional.
IMEF memperkirakan konsumsi batu bara untuk PLTU akan mencapai 153 juta ton pada 2030. Akan tetapi, 5 tahun selanjutnya diproyeksikan batu bara mengalami tekanan besar akibat upaya pensiun bagi PLTU tua.
Rencana retirement PLTU tersebut berpotensi menurunkan permintaan batu bara sebesar 190 juta ton, dengan asumsi 1 gigawatt daya listrik setara dengan kebutuhan 5 juta ton batu bara.
Sementara itu, permintaan batu bara untuk industri semen dan sejenis tidak akan membantu banyak. Pasalnya, saat ini industri tengah mengalami over supply. Bahkan, pertumbuhan permintaan batu bara hanya sekitar 25 juta ton pada 2030, naik tipis dari kebutuhan saat ini sekitar 15–17 juta ton.
Di sisi lain, upaya penghiliran yang akan dilakukan oleh pemerintah belum menjadi jaminan bahwa permintaan batu bara akan stabil dalam beberapa tahun ke depan. Dia mengingatkan bahwa penurunan produksi batu bara akan berdampak luas termasuk pada kerusakan lingkungan.
Pasalnya, pemilik tambang, termasuk tambang kecil akan meninggalkan area eksplorasi atau eksploitasi mereka akibat penurunan permintaan. Hal tersebut berpotensi merusak lingkungan akibat tidak adanya reklamasi.
Adapun, China telah berkomitmen pada penurunan emisi karbon. Negara itu menargetkan puncak penyebaran emisi terjadi pada 2030. Setelah itu, pengembangan energi bersih akan ditingkatkan. Sebaliknya, kebutuhan batu bara bakal turun signifikan.
Saat ini, Negeri Panda tengah menggenjot produksi batu bara-nya. IMEF menemukan bahwa produksi batu bara China telah mencapai 367 juta pada Oktober 2021. Angka itu naik signifikan dari bulan sebelumnya yang sebanyak 340 juta ton. Optimalisasi itu dilakukan sebelum pengembangan EBT secara masif dimulai.
Sementara itu, India turut menaikan produksi batu bara mencapai 67 juta ton pada Oktober 2021, atau naik 10,4 juta ton dari bulan sebelumnya. Sekadar informasi, China menargetkan karbon netral pada 2060, dan India bertekad mencapai karbon netral pada 2070.
“Sehingga kalau kita bicara dampak transisi energi terhadap industri batu bara, kita mesti bicara bagaimana sikap negara importir. Karena 54 persen yang menyerap batu bara justru China dan India.”
“Saya yakin apabila China mulai batuk [mengurangi penggunaan batu bara], kita akan flu berat terhadap industri kita,” terangnya.