Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong peningkatan kegiatan eksplorasi batu bara seiring dengan potensi penurunan permintaan pasar global di masa depan.
Direktur Pembinaan Pengusahaan Batu Bara Kementerian ESDM Sujatmiko mengatakan bahwa pemerintah terus meningkatkan upaya eksplorasi tambang komoditas itu.
Kementerian juga telah berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan demi mendapatkan alokasi pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk mendukung pengembangan batu bara.
“Kami akan menggunakan beberapa bagian PNBP untuk peningkatan eksplorasi batu bara,” katanya saat webinar Masa Depan Industri Batu Bara Menuju Transisi Energi, Selasa (14/12/2021).
Alokasi tersebut salah satunya untuk meningkatkan eksplorasi batu bara kalori tinggi. Jenis itu, kata Sujatmiko, belum banyak dieksplorasi di Indonesia. Langkah tersebut juga sebagai upaya mengurangi impor kokas dan semi kokas.
Kementerian mencatat, impor batu bara kokas maupun semi kokas mencapai 1,5 juta ton per tahun. Komoditas itu umumnya digunakan oleh industri smelter maupun untuk pembuatan baja.
Baca Juga
Peningkatan eksplorasi, lanjutnya, juga untuk menemukan cadangan yang dapat ditambang. Hal itu perlu dilakukan seiring dengan cadangan batu bara di dekat jalan raya maupun dekat laut yang bakal habis.
“Juga untuk membuat peta kualitas batu bara, sehingga bisa disesuaikan dengan tipe penggunaannya,” terangnya.
Lebih lanjut, Kementerian ESDM juga mendorong peningkatan kemampuan teknologi penambangan dan pemanfaatan batu bara. Langkah itu turut didorong dengan konservasi dan pertambangan sesuai kaidah yang baik terhadap lingkungan hidup.
Sujatmiko memastikan, pasokan batu bara dalam negeri dapat dipenuhi dengan baik untuk listrik maupun industri lain. Selain itu, penetapan harga patokan terus dijalankan untuk memastikan penggunaan dalam negeri berjalan, serta menciptakan nilai tambah batu bara untuk gasifikasi dan likuifaksi.
Data Kementerian ESDM mendapati sumber daya batu bara di Indonesia mencapai 143,7 miliar ton, dan cadangan sebesar 38,8 miliar ton. Dengan asumsi produksi 600 juta ton per tahun, cadangan yang ada akan bertahan hingga 65 tahun.
Namun begitu, komoditas batu bara mulai menghadapi tantangan di tengah upaya dunia mengurangi penggunaan energi fosil. Selain itu, perdagangan green product makin menekan industri tersebut.
Sujatmiko memperkirakan batu bara akan menghadapi potensi penurunan dalam beberapa tahun mendatang. Bahkan, permintaan dunia anjlok hingga 40 persen pada 2050 akibat pengetatan peraturan emisi karbon.
Sebab itu, Indonesia dinilai perlu segera melakukan transisi energi untuk menjawab tantangan global.
Setali tiga uang, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, optimalisasi cadangan batu bara yang ada terus dilakukan perusahaan tambang. Langkah tersebut sekaligus memanfaatkan kenaikan harga batu bara di pasar global.
“Perusahaan batu bara saat ini terus memaksimalkan potensi yang ada, karena harga tidak selamanya naik, tidak selamanya bagus terus,” katanya.
“Yang kecil-kecil belum tentu [memiliki cadangan banyak]. Mungkin cuma 5 tahun sampai 2025, atau 2030. Jadi mereka tidak melihat [penurunan permintaan ke depan]. Yang penting memaksimalkan yang sekarang,” ujarnya.
Asosiasi optimistis permintaan terhadap batu bara akan terus meningkat di tahun mendatang, termasuk dari Asia Pasifik. Sekitar 98 persen dari total ekspor batu bara Indonesia memang disalurkan ke kawasan itu, dengan China dan India yang menyerap sekitar 63 persen batu bara ekspor dari Indonesia.
Keyakinan tersebut, kata Hendra, seiring dengan potensi perkembangan industri mulai tahun depan. Kondisi tersebut secara otomatis meningkatkan kebutuhan listrik dan batu bara sebagai salah satu bahan bakarnya.
“Rasanya kalau melihat kebijakan mereka [China dan India], [batu bara] kita masih punya kesempatan 3 hingga 4 dekade ke depan,” terangnya.