Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Utang Pemerintah Membengkak, Indef: Benahi Belanja!

BPK sebut utang luar negeri kian membengkak selama pandemi Covid-19. Indef minta pemerintah benahi belanja.
Ilustrasi uang dolar dan rupiah di Jakarta, Senin (15/2/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha
Ilustrasi uang dolar dan rupiah di Jakarta, Senin (15/2/2021). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pemerintah perlu memasikan setiap belanja memiliki manfaat bagi perekonomian seiring membengkaknya utang di masa pandemi Covid-19

Hal tersebut disampaikan oleh ekonom Indef Imaduddin Abdullah sebagai respons atas catatan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap tren kenaikan utang pemerintah.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I/2021, BPK menyatakan adanya tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga yang melebihi PDB serta penerimaan negara.

Menurut Imadduddin, utang pemerintah memang meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Namun, kondisi fiskal semakin terdisrupsi saat pandemi Covid-19. Penerimaan negara berkurang dan di saat bersamaan ada keharusan untuk membiayai stimulus, sehingga terbit utang baru dan defisit meningkat.

"Menurut saya ke depan tidak ada pilihan lain, memang yang harus dilakukan pemerintah adalah konsolidasi fiskal. Mengerem belanja, dalam artian memprioritaskan belanja atau pengeluaran yang memiliki dampak terhadap sektor ekonomi," ujar Imaduddin pada Rabu (8/12/2021).

Dia menilai bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi pengalokasian dan penggunaan anggaran dari pengalaman 2020 dan pelaksanaan sepanjang 2021. Menurutnya, evaluasi itu bukan hanya menyangkut realisasi anggaran, tetapi juga seberapa besar pengaruh setiap rupiah bagi masyarakat dan perekonomian.

"Minimal 2022 sudah ada indikasi mana yang perlu ditambah dan dikurangi. Evaluasinya harus dilihat seberapa besar pengaruhnya, bukan hanya gap realisasi dan bujet yang dianggarkan," ujarnya.

Imaduddin pun menilai perlu adanya mobilisasi penerimaan untuk menekan defisit. Salah satu langkah yang perlu diakselerasi adalah penerapan pajak karbon karena akan berdampak terhadap penerimaan juga lingkungan.

Sementara itu, peneliti center of macroeconomics and finance Indef Riza Annisa Pujrama menyatakan bahwa mobilisasi penerimaan dapat berjalan dengan pembenahan sistem perpajakan. Berlakunya Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), seperti naiknya pajak pertambahan nilai (PPN) akan turut meningkatkan rasio perpajakan.

"Tax ratio kita rendah dan trennya terus menurun. Berisiko atau tidaknya [lonjakan utang], menurut saya ada risiko, mengingat kemampuan pajak kita rendah," ujar Riza.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper