Bisnis.com, JAKARTA —Hilirisasi mineral terganjal banjir impor produk baja. Menurut Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho produk impor telah lama menjadi beban bagi industri domestik.
Hal itu sejalan dengan derasnya ekspor komoditas nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi) sebagai bahan baku baja. Meski pembangunan smelter nikel digenjot, tetapi nilai tambah di dalam negeri tak bisa dimaksimalkan karena sebagian besar hasil pemurniannya berupa NPI dan FeNi masih diekspor.
Meski demikian, pemerintah belum lama ini mewacanakan untuk menutup keran ekspor produk olahan nikel sebesar 30 persen hingga 40 persen demi keamanan cadangan dan menggenjot nilai tambah.
"Utilisasi produksinya masih rendah karena kompetisi dengan baja impor yang cukup tinggi. Kenapa baja impor [harganya] rendah, karena mereka mendapat fasilitasi di negara asalnya. Jadi ini yang menjadi benturan kepada industri baja domestik," kata Andry kepada Bisnis, Selasa (7/12/2021).
Dia melanjutkan, ketika utilisasi di industri intermediate rendah, maka bahan baku hasil pemurnian smelter menjadi tidak terserap di dalam negeri. Alhasil, ekspor menjadi pilihan utama.
Andry melanjutkan, kondisi derasnya baja impor didukung kemudahan untuk memasuki pasar Indonesia. Bahkan tarifnya bisa mencapai 0 persen. Hal itu menjadi tantangan serius bagi daya saing produk baja dalam negeri.
Baca Juga
Selain itu, praktik mengalihkan kode HS untuk menghindari bea masuk juga masih marak dilakukan para importir. Selain membahayakan daya saing industri dalam negeri, konsumen juga dirugikan dengan produk berkualitas rendah meski harganya lebih murah.
"Pada akhirnya industri di dalam negeri sulit bersaing dengan baja impor dan merembet ke belakang, bahan baku dari baja tidak terserap oleh industri," ujarnya.
Dalam hal ini pemerintah perlu menyusun regulasi untuk melindungi pasar dalam negeri, seperti bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard. Praktik pengalihan kode HS untuk menghindari bea masuk juga harus diinvestigasi, dan jika perlu melibatkan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Bagaimanapun, lanjut Andry, jika tak ada perlakuan istimewa untuk industri dalam negeri, maka akan sulit untuk meningkatkan daya saing. Dia bahkan menilai pemerintah juga perlu mendorong insentif seperti tarif listrik industri yang lebih murah.
"Tekanan-tekanan ini perlu dikurangi. Selain itu, dari sisi perlindungan di dalam negeri untuk baja impor, juga perlu dikedepankan," ujar Andry.