Bisnis.com, JAKARTA – Keberhasilan pengembangan properti syariah pada akhirnya ditandai dengan terciptanya sistem perumahan rakyat yang inklusif, stabil, dan memberi manfaat bagi konsumen (masyarakat) dan produsen (pengembang).
Untuk mewujudkan hal itu perlu Integrasi, sinergi, dan kolaborasi yang lebih luas dan saling mendukung antar pemangku kepentingan.
Hal itu merupakan salah satu benang merah dari lokakarya “Pengarusutamaan Hunian Madani dan Berkelanjutan di Indonesia” yang digelar The HUD Institute pada Selasa (30/11/2021).
Lokakarya tersebut, dihadiri oleh semua pemangku kepentingan yang terdiri atas kementerian dan lembaga, lembaga jasa keuangan, asosiasi perusahaan perumahan swasta dan BUMN, asosiasi profesi, perguruan tinggi, organisasi Islam, SKPD/OPD pemerintahan daerah, media massa, LSM, pondok-pondok pesantren, dan lain-lain.
Sebanyak 20 orang narasumber berkompeten yang berasal dari lembaga yang terkait dengan rantai pasok memberikan pendapat dan usulan.
Adiwarman Azwar Karim, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN)–Majelis Ulama Indonesia (MUI), mewakili Ketua DSN MUI, sebagai keynoted speaker dan narasumber, menjelaskan bahwa salah satu kunci bisa berkembang dan majunya pembiayaan properti syariah adalah dengan menciptakan ekosistem pembiayaan syariah yang inklusif sehingga bisa dimanfaatkan seluruh lapisan masyarakat.
Baca Juga
Dia mengemukakan pembiayaan syariah hanya akan berhasil jika memberikan kenyamanan, memberikan manfaat dan harus dimulai dari sekarang.
“Tak perlu menunggu memiliki semuanya dulu, tetapi buat ekosistemnya. Semunya perlu digitalisasi. Jika dalam perjalanan menjumpai tantangan, bersama-sama kita cari jalan keluar. Syaratnya, jangan ada salah satu pihak yang merasa paling penting atau berkuasa,” kata pakar pembiayaan syariah itu.
Dalam mendukung terciptanya ekosistem pembiayaan syariah, lanjutnya, MUI sudah mengeluarkan banyak fatwa. Untuk pembiayaan perumahan, misalnya, sudah ada fatwa untuk proses sekuritisasi sehingga likuiditas lembaga pembiayaan syariah bisa terpenuhi. Demikian juga dengan keberadaan BP Tapera, DSN MUI mendorong adanya produk syariah.
Sementara itu, Khalawi Abdul Hamid, Dirjen Perumahan Kementerian PUPR, menjelaskan dari sisi penyediaan, perumahan subsidi berbasis syariah menjadi salah satu model dalam program sejuta rumah.
“Rumusan lokakarya yang diselenggarakan The HUD Institute ini bisa menjadi arah dan strategi penyediaan Perumahan Formal bagi MBR di Indonesia ke depan. Inovasi-inovasi yang dicetuskan dalam lokakarya ini bisa membantu pemerintah merumuskan kebijakan terhadap pembangunan perumahan berbasis syariah,” ungkapnya.
Herry Trisaputra Zuna, Dirjen Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian PUPR, memaparkan berbagai model dan dukungan pemerintah yang sudah dilakukan dalam meningkatkan aksesibilitas layanan pembiayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), khususnya dalam hal pembiayaan syariah.
“Dari sisi potensi pasarnya memang besar, tetapi masyarakat yang memanfaatkan KPR syariah baru 16 persen dibandingkan konvensional. Jadi, perlu terobosan terobosan agar pembiayaan perumahan syariah menarik,” ujarnya.
Arief Sabaruddin, Direktur Utama Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP), menjelaskan diperlukan database yang mutakhir dalam mendukung ekosistem pembiayaan perumahan.
Dia menyatakan segmentasi di bawah dan di atas perlu diperhatikan agar layanan penyediaan perumahan dapat saling melengkapi. Nilai-nilai syari’i menjadi satu kesatuan sistem ekosistem penyediaan dan pembiayaan perumahan, tidak bermakna simbolis.
Tumbuh Eksponensial
Ketua Umum Asosiasi Developer Properti Syariah (ADPS) M. Arief Gunawan Sungkar memaparkan bahwa properti syariah terbukti tidak terpengaruh krisis ekonomi, bahkan tumbuh eksponensial selama periode pandemi Covid-19.
Dia menyatakan properti syariah merupakan solusi riil bagi masyarakat yang non-fix income, unbankable yang ingin memiliki rumah. “Sampai 2021 kami sudah menyediakan 45.000 unit rumah dari 1.054 lokasi proyek properti syariah. Bisa menyerap lebih dari 5.000 Tenaga Kerja langsung dan 16.000 freelancer,” ujarnya.
Menurut dia, terjadi perputaran uang per bulan di properti syariah ke bisnis lain saat ini lebih dari Rp100 miliar per bulan. ADPS menghitung total estimasi market size properti syariah dari 2013 sampai 2021 mencapai Rp20 triliun.
Arief menargetkan sampai 2025 properti syariah nonbank akan membuat 1 juta unit dengan market size sampai Rp400 triliun serta target tenaga kerja di atas 100.000 tenaga kerja langsung dan lebih dari 350.000 tenaga kerja tidak langsung.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum DPP Himperra Bidang Properti Syariah Hadiana, menjelaskan kunci utama properti syariah adalah keadilan bagi produsen, perbankan, dan Konsumen. Konsep properti syariah ada tiga yaitu terhindar dari riba, spekulasi, dan dari zalim. Selain itu, memiliki prinsip halal, profesional, insan (kompetitif), dan memiliki kepastian hukum.
Budi Susilo, CEO Tasnim, pengembang properti syariah yang berlokasi di Bogor, juga menjelaskan bahwa social capital menjadi faktor kunci berkembangnya Tasnim Properti. Pengembangan Tasnim tanpa bank, sehingga scaling up model yang dikembangkan perusahaan menjadi tantangan.
“Prinsip pengembangan Syariah di Tasnim adalah ridho, mutualisme (pemilik lahan, developer, konsumen, masyarakat, UMKM), serta sesuai dengan aturan (agama dan pemerintah),” jelasnya.
Di forum itu, Heliantopo, Direktur PT Sarana Multigriya Finansial (SMF), menjelaskan sebagai lembaga pembiayaan sekunder perumahan, SMF segera melakukan perluasan kegiatan usaha salah satunya sekuritisasi KPR syariah. Oleh karena itu, SMF akan mendukung berbagai kegiatan termasuk fasilitasi keuangan syariah dan kegiatan risetnya.
Mewakili BP Tapera, Eko Arianto, Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana, mengukapkan bahwa kepesertaan BP Tapera didominansi oleh ASN (PNS) di mana 20 persen peserta BP Tapera memilih syariah, sebagai salah satu skema pembiayaan yang telah disediakan BP Tapera.
10 Rekomendasi
Dari kegiatan lokakarya tersebut The HUD Institute mengeluarkan 10 rekomendasi untuk ditindaklanjuti yakni:
1. Digitalisasi sistem pada ekosistem penyediaan dan pembiayaan perumahan madani agar memberikan kemudahan pada masyarakat.
2. Pembenahan/penyediaan peraturan perundangan pembiayaan perumahan tanpa bank (bukan anti bank), perijinan, dan pungutan liar. Kolaborasi pemerintah dengan ADPS melalui pemanfaatan Land Bank Pemerintah dan ADPS.
3. Diperlukan kepastian tata ruang yang lebih baik, egosektoral, miskoordinasi antarlembaga. Pemerintah diharapkan memberi ruang yang lebih besar pada pengembang rumah subsidi (berkualitas) dan berpihak pada masyarakat syariah.
4. Pembenahan perizinan yang sangat panjang yaitu 26 langkah di daerah. Setiap langkah memerlukan waktu dan biaya. Oleh karena itu, memerlukan dukungan dari pemerintah.
5. Lembaga pembiayaan mencakup SMF dan BP Tapera memiliki peran strategis kolaboratif untuk fasilitasi pembiayaan perumahan berbasis syariah.
6. Kolaborasi program 1 juta rumah dengan para pengembang syariah dengan Direktorat Rumah Umum dan Komersial Ditjen Perumahan.
7. Lembaga keuangan nonbank didorong untuk terlibat dalam pembiayaan perumahan.
8. Pengaduan dan pencegahan pelanggaran di sektor perumahan akan terus dibina oleh Kementerian PUPR. Mendorong semua pihak untuk meningkatkan kepatuhan pada peraturan yang berlaku.
9. Mendorong kejelasan hak dan kewajiban antara Pengembang dan konsumen dalam ekosistem Syariah berupa regulasi Properti Syariah.
10. The HUD Institute mendorong Pembentukan Kelompok Kerja (POKJA) Silahturahmi Penyediaan Perumahan Madani/Syariah yang beranggotakan The HUD Institute, MUI, DSN, DPP ADPS, PT. SMF, BP TAPERA, Ditjen Perumahan KemenPUPR, Ditjen PI KemenPUPR, PPDPP, DPP HimperraDPP REI, BSI, BTN, BPJS TK, Asabri, termasuk lembaga pendamping.