Bisnis.com, JAKARTA - Rencana pemerintah menaikkan tarif cukai rokok yang akan diumumkan di akhir tahun 2021 mendapat sorotan dari banyak kalangan. Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fathan Subchi mengharapkan agar pemerintah berhati-hati dalam penerapan cukai rokok.
“Rencana pemerintah menaikkan target penerimaan cukai khususnya cukai hasil tembakau (CHT), memang menjadi perhatian kita bersama. Pemerintah harus menimbang secara arif agar kebijakan yang diambil tidak memperburuk situasi perekonomian yang saat ini belum benar-benar pulih akibat dampak dari pandemi Covid-19," kata Fathan dalam keterangannya, Sabtu (20/11/2021).
Kebijakan kenaikan tarif CHT dikhawatirkan menimbulkan dampak ganda terhadap menurunnya produksi tembakau hingga pengurangan tenaga kerja.
“Kita semua paham IHT merupakan industri padat karya yang jadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia. Sehingga apabila keputusan mengenai cukai tidak tepat, praktis ekonomi terganggu dan berpotensi mengganggu upaya pemerintah yang tengah berupaya memulihkan perekonomian pasca Pandemi Covid-19," ujarnya.
Dia mendorong pemerintah sebisa mungkin tidak membuat kebijakan yang justru memperkeruh keadaan. Eksekutif kata dia mesti memberikan perlindungan kepada industri padat karya seperti sigaret kretek tangan (SKT) untuk tetap bisa bertahan demi perlindungan tenaga kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan cara tidak menaikkan tarif cukai SKT pada 2022.
“Pemerintah jangan hanya memikirkan aspek kesehatan namun juga aspek penerimaan negara, ketenagakerjaan hingga peredaran rokok ilegal. Sebaiknya kebijakan cukai rokok juga perlu memperhitungkan dampak terhadap perekonomian rakyat kecil," ujarnya.
Baca Juga
Di sisi lain, Sekjen Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Kudus, Jawa Tengah Badaruddin menilai kenaikan cukai akan menyebabkan pabrikan melakukan sejumlah penyesuaian sehingga dapat memperburuk nasib buruh.
“Pabrikan akan mengencangkan ikat pinggang. Mulai dari pengurangan bahan baku dan yang pasti pengurangan tenaga kerja. Pabrikan akan mengkalkukasi pengeluaran, dan jelas pengeluaran dari sisi karyawan salah satunya,” ujarnya.
Terdapat sekitar 78 ribu buruh industri rokok di Kudus. Sekitar 85 persen dari total buruh tersebut adalah kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh linting di SKT.
“Kalau industrinya tertekan, pabriknya menyerah, bangkrut, mau pindah kerja ke mana lagi? Industri ini yang mau dan mampu menyerap tenaga kerja perempuan, yang mayoritas tamatan SD dan SMP,” katanya.