Bisnis.com, JAKARTA - Kepala Ekonom BCA, David Sumual menyebut pemulihan ekonomi Indonesia, dari dampak pengetatan PPKM di pertengahan tahun, terlihat belum optimal jika dilihat dari masih rendahnya kinerja impor pada neraca perdagangan Oktober 2021.
Kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor pada Oktober 2021 sebesar US$16,29 miliar atau tumbuh 0,36 persen secara bulanan (month-to-month) dan 51,06 persen secara tahunan (year-on-year).
Pada saat yang sama, rendahnya impor mendorong keberlanjutan tren surplus neraca dagang ke-18 kali sejak Mei 2020. Bahkan, surplus perdagangan bulan lalu kembali mencetak rekor sepanjang sejarah yaitu US$5,74 miliar.
"Pasca PPKM ini belum optimal sebenarnya pemulihan ekonomi nasional karena, biasanya kalau kita [ekonomi] sudah optimal itu, impor bahan baku dan konsumsi meningkat," jelas David kepada Bisnis, Senin (15/11/2021).
BPS mencatat impor barang konsumsi Oktober 2021 tercatat mengalami penurunan, sebesar 11,17 persen mtm. Namun, secara tahunan barang konsumsi masih meningkat sebesar 53,45 persen.
Adapun, komoditas yang berpengaruh pada turunnya impor konsumsi pada Oktober ini dikarenakan menurunnya impor untuk produk farmasi sebesar 35,44 persen, juga diikuti buah-buahan yang turun 14,51 persen.
Baca Juga
Di sisi lain, BPS mencatat impor Oktober 2021 didorong oleh pertumbuhan impor migas 75,94 persen (yoy), dan nonmigas sebesar 48,29 persen (yoy).
Berdasarkan penggunaan barang, pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen bahan baku/penolong sebesar 1,77 persen (mtm) atau 55,82 persen secara (yoy). Impor barang modal pun tercatat tumbuh positif, sebesar 0,36 persen (mtm) atau 51,06 persen (yoy).
David tidak menutup kemungkinan, khususnya impor barang konsumsi bisa meningkat pada dua bulan terakhir tahun ini, seiring dengan pelonggaran PPKM. "Mungkin di November-Desember ini kita berharap impor barang konsumsinya sudah mulai ada peningkatan. Begitu juga barang modal dan bahan baku," lanjutnya.
Di sisi lain, surplus juga didorong oleh kinerja ekspor yang mencapai US$22,03 miliar. Nilai tersebut tumbuh 6,89 persen secara bulanan (month-to-month/mtm) dan 53,35 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Hal tersebut didukung oleh permintaan komoditas global yang tinggi sehingga memicu lonjakan harga. Menurut David, kondisi ini bisa berlanjut paling lama hingga pertengahan 2022.
"Dalam jangka pendek harga relatif masih tinggi. Dalam jangka menengah-panjang, saya lihat akan mereda inflasinya. Termasuk di negara-negara maju seperti di Amerika [Serikat]," tutupnya.