Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Edy Sutopo mengatakan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak setuju dengan sertifikasi atau labelisasi BPA Free pada kemasan pangan.
“Sertifikasi BPA saat ini belum diperlukan. Sertifikasi BPA itu hanya akan menambah cost dan mengurangi daya saing Indonesia,” ujarnya dalam keterangan di Jakarta, dikutip Senin (15/11/2021).
Menurut Edy, substansi isunya bisa diperdebatkan. Menurutnya, yang diperlukan adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar.
Seperti diketahui, mengenai batas aman atau toleransi BPA dalam kemasan makanan ini sudah diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Di sana diatur semua persyaratan migrasi zat kontak pangan yang diizinkan digunakan sebagai kemasan pangan.
Tidak hanya BPA saja, tapi juga zat kontak pangan lainnya termasuk etilen glikol dan tereftalat yang ada pada plastik pangan berbahan PET.
Dalam peraturan BPOM itu juga dijelaskan bahwa tidak ada kemasan pangan yang free dari zat kontak pangan. Tapi, di sana diatur mengenai batas migrasi maksimum dari zat kontak itu sehingga aman untuk digunakan sebagai kemasan pangan.
Sebelumnya, Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengungkap hasil penelitian yang dilakukan para pakar tentang BPA pada tahun 2015. Penelitian itu mengaitkan bahayanya terhadap kesehatan bayi, balita dan janin.
"Atas dasar itulah Komnas Perlindungan Anak bergerak untuk melindungi anak anak dari bahaya BPA. Keadaan dan situasi anak anak menjadi tidak tumbuh dan berkembang dengan baik," kata Arist (8/10/2021).
Arist menyatakan pihaknya tidak melarang galon guna ulang yang mengandung zat BPA. Menurutnya, pihaknya hanya ingin BPOM melabeli galon guna ulang tersebut, supaya masyarakat bisa memilih dan tahu mana yang sehat.
"Contohnya seperti susu kental manis yang berlabel tidak untuk dikonsumsi bayi," ujar Arist.