Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa langkah penanganan krisis iklim memerlukan peran seluruh negara dengan seimbang dan sesuai porsi kemampuan masing-masing. Dia menekankan pentingnya negara-negara maju untuk berkontribusi lebih besar dibandingkan dengan negara-negara berkembang.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa Indonesia bersama Menteri Keuangan Finlandia, Annika Saarikko menjadi Co-Chair dari the Coalition of Finance Ministers for Climate Action periode 2021–2023. Co-Chair ini mendorong kebijakan-kebijakan keuangan agar berorientasi dalam penanganan krisis iklim.
Menurutnya, seluruh negara harus menjalankan peran dalam menangkal krisis iklim, mulai dari kebijakan fiskal hingga pembenahan di berbagai sektor, seperti energi, bisnis, dan lingkungan. Namun, Sri Mulyani menilai bahwa negara maju harus memberikan sumbangsih yang lebih besar dalam penanganan krisis iklim.
"Jangan lupa, kita [suhu permukaan bumi] sudah naik 1,1 derajat [celcius] ini karena banyak polusi yang berasal dari negara maju," ujar Sri Mulyani pada Selasa (9/11/2021).
Hal tersebut merujuk kepada industrialisasi yang lebih dahulu terjadi di negara-negara maju. Lebih dari satu abad yang lalu penggunaan energi fosil untuk mendorong industri di negara-negara maju membawa dampak perubahan iklim, yang terus berlanjut saat industrialisasi terjadi di negara-negara berkembang.
Sri Mulyani menilai bahwa seluruh negara memang bertanggung jawab dalam membantu penanganan krisis iklim. Namun, negara-negara maju harus membantu negara-negara berkembang dalam mencapai target net zero emission, alih-alih menerapkan standar langkah penanganan krisis iklim yang sama.
Baca Juga
"[Salah satu poin dalam Perjanjian Paris] negara maju berjanji membayar US$100 miliar per tahun yang digunakan untuk membantu negara-negara berkembang dalam melakukan mitigasi dan adaptasi [dalam langkah penekanan dampak krisis iklim]. Sampai hari ini mereka tidak membayar. Ini jadinya [Perjanjian Paris] sudah mulai sejak kapan," ujar Sri Mulyani.
Menurutnya, transfer teknologi ke negara berkembang sangat penting dalam mendorong percepatan penanganan krisis iklim. Hal tersebut dapat terwujud salah satunya melalui penyaluran dana sesuai Perjanjian Paris.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa langkah transisi ke ekonomi hijau akan membawa dampak yang besar, salah satunya terhadap perekonomian. Misalnya, di Indonesia transisi pembangkit listrik tenaga batu bara ke energi terbarukan tidak dapat dilakukan dalam satu kedipan mata karena dibutuhkan investasi yang sangat besar.
Oleh karena itu, dukungan dana dan teknologi dari negara maju dapat membantu negara-negara berkembang dalam melakukan transisi tanpa membawa dampak yang terlalu mengguncang.
"Kita juga berjuang, sambil memperbaiki diri sendiri kita juga bicara tentang keadilan secara global. Kita berprinsip melakukan ini [transisi menuju ekonomi hijau] harus secara adil dan affordable," ujar Sri Mulyani.