Bisnis.com, JAKARTA - Komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun infrastruktur energi bersih yang berkelanjutan semakin tegas.
Hal ini didorong dengan peluncuran kerja sama antara Indonesia dengan Bank Pembangunan Asia (ADB), terkait dengan studi kelayakan dan rancangan penerapan Energy Transition Mechanism (ETM).
Kerja sama dalam bentuk studi ETM, atau Mekanisme Transisi Energi ini, diluncurkan pada rangkaian pelaksanaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP26) di Glasgow, Inggris, Rabu (3/11/2021).
"ETM adalah program yang ambisius yang akan mampu meningkatkan infrastruktur energi dan mengakselerasi transisi energi bersih menuju emisi nol bersih dengan prinsip adil [just] dan terjangkau [affordable]", ujar Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati dalam acara peluncuran, seperti yang dikutip dari siaran pers, Kamis (4/11/2021).
Sri Mulyani mengatakan kemampuan membayar oleh masyarakat dan industri, serta perluasan akses energi merupakan indikator dari keterjangkauan transisi energi. Selain itu, hal lain yang harus dipertimbangkan adalah kemampuan APBN untuk mendukung transisi ini baik dalam bentuk subsidi atau insentif, pembiayaan modal untuk energi baru dan terbarukan, transmisi, distribusi serta penerimaan negara.
"Ekonomi Indonesia akan terus tumbuh dan permintaan untuk energi juga akan tumbuh. Permintaan energi yang terus tumbuh ini harus dipenuhi dengan efisien dan emisi karbon yang lebih rendah atau bahkan dengan emisi nol," jelasnya.
Baca Juga
Menurut Menkeu, pemerintah Indonesia menyadari bahwa bagi negara berkembang, transisi menuju energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan perlu dilakukan tanpa membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, berbagai kebijakan dirumuskan dengan memastikan pertumbuhan yang tentunya membutuhkan energi tersebut tetap ada, tetapi dilakukan secara “hijau”.
Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan kombinasi antara menurunkan ketergantungan terhadap pembangkit listrik bertenaga batu bara, dan dalam waktu bersamaan, membangun energi alternatif yang lebih hijau.
"Apabila negara berkembang ingin lebih ambisius, kita harus segera melaksanakan ETM yang sudah kita mulai dengan ADB ini," kata Sri Mulyani.
Setelah adanya Perjanjian Paris, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29 persen pada 2030 dengan usaha sendiri, atau 41 persen dengan bantuan internasional. Energi merupakan sektor yang akan berkontribusi besar terhadap target ini.
Saat ini, Indonesia telah masuk ke dalam transisi menuju emisi nol bersih (Net Zero Emission), dengan target realisasi paling lambat di 2060. Pengurangan ketergantungan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari batu bara adalah satu bagian penting dari transisi menuju ekonomi rendah karbon. Dengan ETM, Indonesia akan lebih dekat kepada pencapaian target tersebut.
ETM merupakan suatu bentuk pembiayaan campuran (blended finance) yang dirancang untuk mempercepat penghentian PLTU batu bara, dan membuka investasi untuk energi bersih.
Saat ini, ADB sedang melakukan analisis kelayakan implementasi ETM terhadap beberapa PLTU di Indonesia, setelah sebelumnya melalui tahapan studi pra-kelayakan. ETM bisa efektif apabila didukung oleh sejumlah faktor.
Pertama, dibutuhkan pembiayaan untuk mengurangi aktivitas yang membutuhkan sumber daya batu bara. ETM harus membantu mobilisasi dana dengan biaya yang lebih murah untuk penghentian pembangkit listrik batu bara, atau membuatnya menjadi lebih murah.
"Kita sedang dalam proses berbicara dengan para pekerja dan produsen ini dan diskusinya berlangsung cukup produktif," kata Sri Mulyani.
Kedua, dibutuhkan pembiayaan yang rendah biaya untuk membangun energi terbarukan sebagai respons dari permintaan yang terus bertumbuh. Oleh sebab itu, ini adalah investasi dua sisi yang dibutuhkan untuk menghilangkan polluter, serta membangun energi yang baru dan lebih bersih. Indonesia juga sudah mempunyai regulasi pengaktif atau enabling environment, agar segala pembiayaan untuk berbagai skema memiliki kerangka regulasi yang diperlukan.
Tantangan yang masih ada, tambah Sri Mulyani, adalah bagaimana meletakkan regulasi pengaktif dalam konsep platform ETM, seperti peranan dari Special Mission Vehicle (SMV) atau Investment National Authority (INA). Menurutnya, diperlukan mobilisasi dana dengan ongkos yang murah dan periode yang lebih panjang, untuk mengembangkan energi baru terbarukan, transmisi, dan distribusi.
Ketiga, Indonesia perlu membangun bauran kebijakan dari perspektif ekonomi politik untuk mendukung ETM. Oleh karena itu, Indonesia juga membentuk mekanisme pasar untuk karbon dan memperkenalkan mekanisme cap and trade, harga karbon, dan pajak karbon. Mekanisme ini diperlukan untuk menjadikan ETM lebih efisien dan kredibel, termasuk Measurement, Reporting and Verification (MRV).
DPR RI pada bulan lalu telah menyetujui pengenalan harga karbon dan pajak karbon melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon akan diimplementasikan secara bertahap mengikuti kerangka yang akan disiapkan dengan pertimbangan kondisi ekonomi, serta kebijakan terkait seperti pembangunan pasar karbon.
Indonesia akan memulai dengan harga karbon yang sangat rendah yaitu sekitar US$2 (setara dengan Rp30.000) per ton emisi CO2 pada 2022-2024. Selanjutnya, dari 2025 ke atas, harga akan diperluas secara bertahap ke sektor yang merupakan subjek pajak karbon setelah sektor tersebut telah siap dan sudah mengimplementasikan pasar karbon.
"Hal ini memberikan Indonesia suatu tujuan kebijakan yang sangat jelas dan memperoleh dukungan politik yang kuat," kata Bendahara Negara.
Dengan ETM, Indonesia kembali melakukan langkah baru yang signifikan. Oleh sebab itu Indonesia ingin melaksanakannya dengan baik, serta dengan skenario yang kredibel dan komunikasi secara jelas pada pemangku kepentingan domestik terutama sektor usaha.
ETM bisa menjadi salah satu agenda unggulan Indonesia yang dapat ditampilkan pada saat Presidensi G20, yang akan dimulai pada 2022 mendatang.
"Indonesia akan terus menjadi contoh dalam kaitannya dengan upaya mitigasi perubahan iklim dan berharap komitmen yang serupa akan dilakukan oleh negara berkembang dan lembaga pembangunan lainnya baik di kawasan regional maupun global," tutup Sri Mulyani.