Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Utama PT Bio Farma (Persero) Honesti Basyir mengatakan masih ada potensi pemerintah untuk menurunkan ketetapan harga eceran tertinggi atau HEI pemeriksaan PCR di tengah masyarakat.
Menurut Honesti terdapat sejumlah komponen pembiayaan yang relatif sudah dapat dipangkas untuk efisiensi harga layanan tes Covid-19 tersebut.
“Ada hitung-hitungan sederhana yang kami lakukan kemarin setelah kami mendapat undangan RDP dari Komisi VI, masih ada celah kita untuk turun cuma berapa persennya kami belum pasti,” kata Honesti saat memberi keterangan dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).
Misalkan, Honesti mencontohkan, produk Bio Saliva bikinan Bio Farma dapat didorong untuk menekan komponen biaya alat pelindung diri atau APD. Selain itu, produk itu dapat dikerjakan secara massal untuk mengoptimalkan raihan volume pemeriksaan di tengah masyarakat.
“Tapi kita tidak bisa detil untuk menghitung implikasi ke biaya karena ada beberapa biaya yang ga bisa kita turunkan seperti biaya tenaga kesehatan itu kan karyawan kami sudah ada aturan untuk kami menggaji mereka dengan level tertentu,” tuturnya.
Di sisi lain, dia menambahkan perseroannya masih menghitung secara matang ihwal rencana untuk kembali menurunkan HET tes PCR itu. Alasannya, penurunan HET itu mesti berpatok pada kapasitas produksi Bio Farma.
Baca Juga
“Ini menyangkut kapasitas produksi kami karena volume sangat menentukan sampai volume berapa optimal biaya PCR ini bisa kita turunkan, tapi kami yakin masih ada ruang,” kata dia.
Berdasarkan catatan perseroan sepanjang Agustus 2020 hingga Januari 2021, produksi Biocov (Singleplex) dengan kapasitas produksi yang masih terbatas mampu mendorong kompetitor untuk menurunkan harga reagen PCR di sekitar Rp400.000 sampai Rp800.000 per tes.
Bio Farma kemudian melakukan inovasi produk menjadi Mbiocov Multiplex yang meningkatkan permintaan pasar pada paruh pertama tahun ini.
Adapun struktur harga reagen tes PCR milik Bio Farma mayoritas didominasi oleh biaya produksi dan bahan baku mencapai 55 persen.
Selanjutnya 16 persen dihabiskan untuk biaya operasional, 14 persen untuk biaya distribusi termasuk di dalamnya margin untuk distributor, royalti 5 persen dan margin untuk perseroan sebesar 10 persen. Dengan demikian, harga reagen tes PCR milik Bio Farma setelah Oktober 2021 di posisi Rp90.000 (tidak termasuk PPN).
Di sisi lain, Asosiasi Rumah Sakit Swasta Indonesia (ARSSI) berkirim surat ke Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin untuk menetapkan standar harga dan mutu bahan medis habis pakai seiring kebijakan harga eceran tertinggi atau HET yang dipatok sebesar Rp300.000 bagi alat Polymerase Chain Reaction (PCR).
Permintaan standarisasi harga dan mutu bahan medis habis pakai itu diantaranya menyasar pada reagen kit, viral transport medium (VTM), alat pelindung diri (APD) dan kebutuhan langsung atau tidak langsung penanganan pandemi Covid-19.
Sekretaris Jenderal ARSSI Ichsan Hanafi mengatakan standarisasi harga dan mutu bahan medis habis pakai itu diharapkan dapat menekan biaya pelayanan kesehatan rumah sakit swasta seiring penetapan HET alat PCR beberapa waktu terakhir.
“Kita mencari reagen yang bisa lebih ekonomis lagi untuk menyesuaikan HET itu, supaya terstandar reagen dan alat lainnya, jadi dimasukkan saja di e-katalog sehingga pemerintah bisa membantu ke importir supaya harganya bisa menyesuaikan,” kata Ichsan melalui sambungan telepon, Minggu (31/10/2021).