Bisnis.com, JAKARTA - Pelambatan pertumbuhan ekonomi diperkirakan terjadi pada kuartal III/2021, yang terjadi akibat adanya kenaikan kasus Covid-19 yang mengharuskan adanya pembatasan kegiatan dan mobilitas masyarakat.
Pertumbuhan ekonomi kuartal III/2021 diperkirakan melambat dari pertumbuhan kuartal sebelumnya yang mencapai 7,07 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut akan tumbuh sekitar 3-4 persen (yoy).
"Artinya bahwa memang [diperkirakan] agak melambat. Paling tinggi 4 [persen] ya. Agak berat kalau di atas 4 [persen]," kata Tauhid kepada Bisnis, Minggu (31/10/2021).
Adanya Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan level 3-4 yang menghambat kegiatan ekonomi di berbagai daerah, merupakan konsekuensi dari adanya lonjakan kasus Covid-19. Menurut Tauhid, sektor yang paling terpuruk pada periode tersebut adalah konsumsi rumah tangga.
Hal itu terlihat misalnya dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September 2021 yang masih berada di level pesimis (95,5). Namun, posisi tersebut menguat dari periode sebelumnya yang sempat berada di level 77,3 pada Agustus 2021.
Selain konsumsi rumah tangga, Tauhid mengatakan pengetatan PPKM turut berdampak pada indikator ekonomi lainnya yaitu investasi atau Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB).
Baca Juga
Pada kuartal III/2021, BKPM mencatat realisasi investasi mencapai Rp216,7 triliun atau tumbuh 3,7 persen (yoy). Namun, angka realisasi tersebut mengalami kontraksi sebesar -2,8 persen secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq), jika dibandingkan dengan realisasi kuartal II/2021 sebesar Rp223 triliun.
Adapun, penyelamat dari PDB kuartal III/2021 ini adalah belanja pemerintah dan kinerja ekspor-impor. Tauhid menilai kinerja kedua indikator ekonomi ini masih relatif baik.
Realisasi belanja pemerintah September 2021 tercatat Rp1.806,8 triliun atau tumbuh minus 1,9 persen (yoy), melonjak dibaindingkan akhir Agustus 2021 yang mencapai 1,5 persen (yoy). Di sisi lain, tren surplus neraca dagang Indonesia masih berlanjut hingga September 2021 lalu sebesar US$4,37 miliar.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2021 melambat atau lebih rendah dari kuartal sebelumnya, yang akhirnya mengeluarkan Indonesia dari jurang resesi selama empat kuartal berturut-turut.
Faisal bahkan memproyeksikan pertumbuhan pada periode tersebut hanya akan tumbuh sebesar 1 persen (yoy), dari pertumbuhan kuartal III/2020 yang mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar -3,49 persen (yoy).
"Untuk kuartal III, karena [pada periode itu] kita mengalami gelombang kedua [penyebaran] Covid-19 dan kemudian direspon dengan PPKM Darurat, jadi potensi pertumbuhan kuartal ini akan jauh berbeda dengan kuartal II. Kalau saya prediksikan, itu bisa hanya di kisaran 1 persen [yoy]," kata Faisal kepada Bisnis, Sabtu (30/10/2021).
Faisal menjelaskan faktor utama dari rendahnya pertumbuhan ekonomi yang diproyeksikan ini adalah kontraksi pada konsumsi rumah tangga. Seperti diketahui, konsumsi rumah tangga memegang porsi kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Untuk kuartal III/2021, Faisal memperkirakan konsumsi rumah tangga akan terkontraksi tipis. Pada kuartal sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat konsumsi rumah tangga tumbuh 5,93 persen (yoy) dan memiliki andil terbesar dalam mendorong pertumbuhan sebesar 7,07 persen (yoy) di kuartal II/2021, bersama investasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) rencananya pada awal bulan ini akan merilis data pertumbuhan PDB kuartal III/2021. Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5 persen (yoy) di kuartal III/2021, dan di kisaran 3,7-4,5 persen (yoy) untuk keseluruhan 2021.