Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Fikri C. Permana & Desy Israhyanti

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Waspadai Risiko Stagflasi

Globalisasi bisa menyebabkan hubungan antar negara makin samar dan dapat menjadi sumber masalah ke depannya.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Perdana Menteri India Narendra Modi (tengah), dan Presiden Joko Widodo (kanan) di sela-sela pertemuan KTT G20 di Roma, Italia/Istimewa
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kiri), Perdana Menteri India Narendra Modi (tengah), dan Presiden Joko Widodo (kanan) di sela-sela pertemuan KTT G20 di Roma, Italia/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Pemulihan ekonomi global, usai melandainya kasus Covid-19, dihadapkan pada ancaman stagflasi yang membayangi negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan Inggris. Kondisi ini diindikasikan dengan inflasi tinggi tapi diikuti perlambatan pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran yang tinggi.

Sebagai gambaran utama, tingkat inflasi AS berada di angka 5,4 persen (YoY) pada September. Namun pertumbuhan ekonomi AS turun signifikan dari 6,7 persen (QoQ) ke angka 2,0 persen (QoQ) selama triwulan III/2021, sementara tingkat pengangguran berada di angka 4,8 persen pada akhir September.

Bagi investor pasar fixed income global, kekuatiran stagflasi tersebut digambarkan dengan yield curve US Treasuries (T-bonds) yang cenderung mendatar (flattening).

Per 28 Oktober 2021, yield T-bonds tenor 1 bulan, 2 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 1 tahun berada pada rentang yang terbatas, yakni antara 0,06 persen dan 0,15 persen.

Demikian pula yield T-bonds tenor 7—10 tahun yang berada antara 1,44 persen dan 1,57 persen. Sementara yield T-bonds tenor panjang bahkan memperlihatkan inverted, di mana yield tenor 20 tahun (berada di angka 198 persen) melebihi angka yield tenor 30 tahun (yang berada di angka 1,96 persen).

Secara umum, kecenderungan flattening (atau inverted) tersebut menunjukkan adanya risiko yang hampir sama antar tenor. Walau hal ini sering terjadi saat transformasi perekonomian dari resesi ke ekspansi dan sebaliknya tetapi juga dapat diartikan dengan ekspektasi investor akan adanya ketidakpastian terhadap prospek perekonomian masa depan.

Saat ini kekuatiran stagflasi belum terlihat pada perekonomian domestik. Inflasi September cenderung stabil di angka 1,60 persen (YoY), diikuti dengan comparative advantage akibat kenaikan harga komoditas global tentunya menjadi dua hal utama yang menjadi alasan tersebut.

Yield curve SUN pun masih cenderung normal dengan yield SUN antar tenor yang meningkat di mana yield SUN 1, 2, 5, 10, dan 30 tahun berada di angka 3,07 persen, 4,03 persen, 4,90 persen, 6,02 persen, dan 6,81 persen pada 28 Oktober 2021.

Bahkan yield spread SUN tenor 10 dan 2 tahun berada di angka 198,30 bps serta yield spread SUN tenor 30 dan 5 tahun berada di angka 191,30 bps pada hari yang sama. Bandingkan dengan yield spread T-bonds tenor 10 dan 2 tahun serta tenor 30 dan 5 tahun yang masing-masingnya hanya sebesar 109,09 bps dan 79,64 bps.

Namun, globalisasi yang menyebabkan hubungan antar negara makin samar dapat menjadi sumber masalah ke depannya. Alhasil, sektor perdagangan dapat menjadi jalur utama transmisi stagflasi global ke dalam negeri, karena tidak hanya dapat menyebabkan permintaan produk-produk Indonesia berkurang.

Akan tetapi juga dapat mengurangi nilai tambah ekonomi dan penyerapan tenaga kerja domestik. Tidak hanya itu, kenaikan inflasi, khususnya dari negara-negara mitra dagang utama juga dikhawatirkan dapat merembet ke dalam negeri melalui pengiriman barang-barang impor (imported inflation).

Transmisi kedua, dikhawatirkan dapat berasal dari ekspektasi suku bunga global yang meningkat. Selain tapering-off, risiko peningkatan inflasi juga biasanya direspons dengan kenaikan suku bunga acuan.

Akibatnya, kemungkinan perbedaan suku bunga Indonesia dan negara maju semakin kecil. Walau saat ini suku bunga acuan relatif belum berubah tetapi yield spread SUN-T Bonds mengecil dari 495,68 bps (4 Januari 2021) menjadi 443,60 bps (28 Oktober 2021), diikuti dengan berkurangnya kepemilikan asing sebesar Rp23,6 triliun di tradable SBN pada periode yang sama.

Walaupun begitu, risiko stagflasi juga diharapkan dapat dijaga sebelum menjalar ke Indonesia. Sekali lagi, dengan harga komoditas ekspor Indonesia yang meningkat signifikan dan mendorong surplus neraca dagang hingga 17 bulan berturut-turut pada September 2021 diharapkan mendorong multiplier effect bagi ekonomi dalam negeri serta realisasi penerimaan negara, khususnya PNBP dan kepabeanan-cukai yang naik masing-masing 22,5% (YoY) dan 29% (YoY) di periode yang sama.

Sangat beralasan bila risiko defisit fiskal dapat lebih rendah dari target pemerintah, yakni 5,7% dari PDB. Dengan investor domestik yang makin dominan di pasar keuangan telah mendorong risiko defisit transaksi berjalan dan defisit neraca pembayaran makin rendah.

Alhasil, surplus neraca dagang telah mendorong cadangan devisa meningkat ke US$146,87 miliar di akhir September 2021, tertinggi sepanjang sejarah.

Ini menjadikan rupiah cenderung lebih stabil dengan standar deviasi sekitar 2,5% dari nilai tengah (Rp14.297 per dolar) hingga 28 Oktober 2021 (YtD), sementara pada 2020 mencapai 5,2% dari nilai tengah (Rp14.543 per dolar).


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper