Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah disarankan memperpanjang masa berlaku insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang saat ini ditetapkan berakhir pada 31 Desember 2021 untuk menjaga kesinambungan tren positif investasi dan bisnis real estat.
Pengamat bisnis properti Ali Tranghanda mengutarakan kalau pun insentif tersebut hendak dihapuskan, sebaiknya dilakukan secara progresif atau bertahap.
Menurut CEO Indonesia Property Watch (IPW) itu dalam perbincangannya dengan Bisnis pada Senin (1/11/2021), yang memutar roda bisnis properti sekarang adalah segmen menenengah ke atas yakni mereka yang membeli hunian dengan harga lebih dari Rp1 miliar.
“Sekarang ibaratnya berkat insentif PPN, roda properti sedang ngegas, mendadak direm, itu bisa membuat tergelincir,” kata Ali mengungkapkan perlunya penghapusan insentif PPN secara bertahap atau progresif.
Kalau pemerintah memutuskan secara langsung menghapus PPN mulai tahun depan, apalagi kalau dinaikkan menjadi 11 persen, pasar akan bergerak menurun kembali ke segmen menengah. Namun, Ali khawatir segmen menengah belum siap untuk “mengambil alih” peran segmen atas untuk membeli properti akibat selama 2 tahun ini mereka juga terimbas dampak pandemi Covid-19.
“Kalau itu terjadi, roda bisnis properti kembali tersendat, sehingga kontribusinya ke pemulihan ekonomi menyusut,” lanjut Ali.
Sebelumnya, pekan lalu Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melansir data yang menyebutkan bahwa perumahan, kawasan industri, dan perkantoran mencatatkan investasi terbesar sepanjang kuartal III tahun ini secara keseluruhan baik PMA maupun PMDN.
Bahkan, nilai investasi di sektor properti itu sebenarnya masih lebih besar, mengingat pergudangan—bersama transportasi dan telekomunikasi—menempati peringkat kedua jumlah terbesar penanam modal dalam negeri (PMDN) dan penanaman modal asing (PMA) pada periode tersebut.
Dari sisi PMDN, sepanjang Juli hingga September 2021, investasi di bisnis properti subsektor perumahan, kawasan industri, dan perkantoran tercatat Rp20,6 triliun, juga menjadi yang terbesar di antara kelompok sektor PMDN lainnya.
Nilai PMDN sebesar itu mencakup sekitar 18,2 persen dari total PMDN sepanjang Juli hingga September tahun ini.
Sementara itu, untuk PMA, sepanjang periode tersebut tercatat sebesar US$500 juta atau mencakup sekitar 7,2 persen dari total PMA pada periode tersebut.
Khusus untuk PMA, jumlah investasi pada kuartal III 2021 itu masih berada di bawah pencapaian sektor-sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya; pertambangan; transportasi, gudang, dan telekomunikasi; serta industri makanan.
Selain yang memang digolongkan ke sektor properti yang meliputi perumahan, kawasan industri, dan perkantoran, investasi real estat juga masuk ke dalam kelompok sektor transportasi, gudang, dan telekomunikasi serta konstruksi.
Gudang, yang merupakan salah satu subsektor properti, bersama transportasi dan mencatatkan PMDN sebesar Rp17,6 triliun atau sekitar 15,5 persen dari keseluruhan PMDN. Sementara itu, konstruksi mencatatkan PMDN sebesar Rp10,3 triliun atau 9,1 persen daroi total PMDN sepanjang 3 bulan kuartal III tahun ini.
Adapun untuk PMA, pergudangan bersama transportasi dan telekomunikasi mencatatkan nilai investasi sekitar US$600 juta dan berada di posisi kedua di bawah kelompok sektor industri logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya.
Secara keseluruhan baik PMDN maupun PMA, sektor properti yang diwakili perumahan, kawasan industri, dan perkantoran tetap yang terbesar yakni mencapai Rp28,1 triliun atau mencakup 13 persen dari total PMA dan PMDN pada kuartal III.