Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ekonom Menilai Konten UU HPP Perlu Disempurnakan

Konten UU HPP pasal 16B tersebut tidak senafas dengan jiwa demokrasi dan reformasi dimana otoritas fiskal tiba-tiba menjadi powerful. Pasal 16B merupakan kemenangan eksekutif atas legislatif dalam pengenaan atau tidak pengenaan PPN.
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kanan) bersama dengan Direktur Jenderal Pajak (DJP) Suryo Utomo (kiri) menjawab pertanyaan wartawan usai melakukan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan di Kantor DJP, Jakarta, Selasa (10/3/2020). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Narasi Institute, Achmad Nur Hidayat menilai UU Harmonisasi Peraturan PerPajakan (HPP) perlu disempurnakan guna memaksimalkan upaya peningkatan rasio Pajak.

Dia mengatakan pasal yang perlu disempurnakan di antaranya pasal 16 huruf B dimana pasal tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk mengenakan atau tidak mengenakan, mengenakan sementara ataupun mengenakan selamanya dengan tarif berapa.

"Semua pokoknya terserah pemerintah Pasal 16 B itu. Pasal 16B merupakan kemenangan eksekutif atas legislatif dalam pengenaan atau tidak pengenaan PPN," ujar Hidayat.

Menurutnya, konten UU HPP pasal 16B tersebut tidak senafas dengan jiwa demokrasi dan reformasi dimana otoritas fiskal tiba-tiba menjadi powerful. Pasal 16B merupakan kemenangan eksekutif atas legislatif dalam pengenaan atau tidak pengenaan PPN.

Selain itu, dia melihat pasal 16B tidak sesuai dengan demokrasi modern yaitu "no taxation without representation" yang artinya "tolak pajak tanpa mendengarkan aspirasi rakyat".

"Sekarang otoritas pajak bebas menentukan mengenakan atau tidak mengenakan PPN seenaknya tanpa persetujuan rakyat atau representasinya yaitu DPR. Ini bahaya pasal 16B UU HPP" Ujar Hidayat

Dia berpandangan bahwa dalam implementasi UU HPP sebaiknya melihat kondisi ekonomi yang tepat

"UU HPP sebaiknya tidak digunakan pemerintah untuk melucuti daya beli masyarakat dan pengusaha melalui pengenaan pajak yang memberatkan. Publik butuh relaksasi pajak agar daya beli mereka membaik sehingga mendukung pertumbuhan ekonomi di masa pandemi ini." Ujar ANG

Hidayat juga berpendapat kenaikan PPN dan kenaikan pajak badan 22 persen sebaiknya tidak dikenakan 2022 nanti.

"Pajak badan naik menjadi 22 persen sebaiknya dipertimbangkan untuk tidak dikenakan dalam waktu dekat."

Begitu juga dengan kenaikan PPN, meskipun hanya 1 persen namun secara akumulasi negara akan mendapatkan tambahan pendapatan dari PPN tersebut sebesar Rp500 miliar-Rp1 triliun dengan harga besar, yaitu rakyat makin menderita karena harga-harga produk PPN tersebut menjadi meroket tinggi dan akhirnya kemiskinan akan semakin parah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper