Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus meminta pemerintah tetap memprioritaskan hilirisasi sejumlah komoditas unggulan ekspor sebagai bahan baku industri dalam negeri.
Permintaan itu disampaikan Heri untuk mengantisipasi turunnya harga komoditas unggulan, seperti minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan batu bara di pasar internasional.
Menurut perhitungan Kementerian Perdagangan, harga komoditas di tingkat internasional bakal kembali normal menjelang pertengahan tahun 2023.
“Pemerintah perlu membuat kebijakan bagaimana menyerap produk-produk komoditas unggulan kita untuk industri dalam negeri sebagai bahan baku,” kata Heri melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Jumat (15/10/2021).
Dia mengatakan, dampak lain dari surplus neraca perdagangan adalah kuatnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Konsekuensinya, barang impor relatif lebih murah saat rupiah kuat.
“Yang jadi masalah adalah kalau impornya itu barang konsumsi yang tadinya kita mau bikin sendiri di dalam negeri, tapi kita lihat di luar murah. Jadi lebih baik impor saja, dan ini yang mesti diwaspadai,” tuturnya.
Baca Juga
Dengan demikian, pengendalian impor barang konsumsi sembari mengoptimalkan hilirisasi bahan baku mesti diambil pemerintah untuk menjaga tren surplus neraca perdagangan.
Sementara itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan bahwa pemerintah bakal mendorong ekspor produk besi dan baja untuk mengganti komoditas unggulan, seperti CPO dan batu bara.
Langkah itu diambil untuk menjaga tren positif neraca dagang saat harga dua komoditas unggulan ekspor dalam negeri itu kembali turun seiring dengan pulihnya pasokan global.
“Supercycle itu biasanya antara 6 sampai 14 bulan, tapi kalau saat ini saya melihat paling cepat mungkin baru akhir tahun depan selesai, atau menjelang tengah tahun 2023. Jadi totalnya hampir 3 tahun,” kata Lutfi melalui sambungan telepon kepada Bisnis, Jumat (15/10/2021).
Lutfi beralasan, pertumbuhan ekspor dari industri besi dan baja mengalami peningkatan hingga lebih dari 95 persen. Artinya, kinerja ekspor Indonesia yang bertumpu pada CPO dan batu bara dapat mulai beralih ke produk besi dan baja.
“Untuk produk seperti sepatu dan garmen itu kan sudah biasa, ini kan baru industri besi dan baja. Kita juga punya aluminium dan alumina. Perhatian kami dua atau tiga tahun ke depan akan pada tembaga dan emas,” kata dia.
Menjelang 2023, dia menambahkan, komposisi unggulan ekspor dalam negeri bakal bergeser ke industri besi dan baja, menyusul proyeksi kembali normalnya harga CPO dan batu bara dunia saat itu.