Bisnis.com, JAKARTA — Fraksi Partai Keadilan Sejahtera atau PKS menolak program pengungkapan sukarela wajib pajak yang termaktub dalam Rancangan Undang-Undang atau RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang sebelumnya bernama Ketentuan Umum Perpajakan. Program itu dinilai sebagai kebijakan perpajakan yang timpang.
Anggota Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (Banggar DPR) Fraksi PKS Ecky Awal Munawar menjelaskan bahwa pihaknya memberikan catatan penolakan dalam pengambilan keputusan RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) di Komisi XI. Fraksi tersebut menolak program pengungkapan sukarela dan pengenaan pajak terhadap sejumlah kebutuhan pokok.
Ecky menilai bahwa terdapat pasal-pasal terkait dengan program pengungkapan sukarela wajib pajak dalam RUU HPP. Menurutnya, publik memahami program itu sebagai Tax Amnesty jilid 2, karena terdapat kesamaan prinsip dengan Tax Amnesty yang berlaku pada 2016, yakni adanya tarif khusus bagi wajib pajak yang bersedia mengungkapkan asetnya.
Menurut Fraksi PKS, program pengungkapan sukarela wajib pajak itu menunjukan kebijakan perpajakan yang semakin timpang dan jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Hal tersebut mendasari PKS untuk menolak skema Tax Amnesty Jilid 2.
“Pada 2016 Fraksi PKS secara resmi menolak Tax Amnesty yang didasari oleh sikap sesuai platform kebijakan pembangunan PKS dimana kebijakan perpajakan adalah menegakkan prinsip keadilan [fiscal justice],” ujar Ecky pada Kamis (30/9/2021).
Menurutnya, Tax Amnesty merupakan kebijakan yang tidak mencerminkan prinsip keadilan. Orang-orang kelas kakap sebagai wajib pajak yang menjadi sasaran program itu akan mendapatkan keringanan, tapi di sisi lain RUU HPP membebani masyarakat luas dengan pengenaan pajak bahan pokok.
Baca Juga
PKS pun menilai bahwa Tax Amnesty sebagai pelaksanaan UU 11/2016 tentang Pengampunan Pajak tidak terbukti meningkatkan penerimaan negara jangka panjang. Menurut Ecky, pada periode 2018, rasio perpajakan hanya mencapai 10,2 pesen dan 2019 hanya mencapai 9,8 persen.
“Di saat berbagai insentif dan fasilitas perpajakan diberikan kepada masyarakat berpendapatan tinggi, pemerintah justru terus mengejar sumber-sumber perpajakan dari masyarakat berpendapatan rendah. Sistem administrasi perpajakan yang tidak efisien terus menjadi permasalahan dalam pembangunan,” ujar Ecky.