Bisnis.com, JAKARTA – Pelaku usaha di Tanah Air mengaku ekspor produk kayu dan turunannya ke sejumlah negara masih menghadapi kendala, meski Indonesia terus menyempurnakan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Kendati demikian, upaya pemenuhan standar terus dilakukan untuk menjaga pangsa pasar.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia Liana Bratasida mengatakan sejak SVLK diakui dalam perdagangan kayu antara Uni Eropa dan Indonesia dan Voluntary Partnership Agreement on Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT-VPA) ditandatangani pada September 2013, eksportir tetap harus menyertakan sertifikat lain seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan Programme for the Endorsement of Forest Certification (PEFC).
"Masih terdapat keraguan bahwa SVLK hanya mengesahkan legalitas kayu, tetapi tidak menjamin kelestariannya," kata Liana, Kamis (23/9/2021).
Selain itu, Liana menjelaskan bahwa hampir semua negara Uni Eropa tidak melaksanakan amanat Artikel 13 dalam VPA. Dalam pasal tersebut, Uni Eropa memiliki kewajiban untuk mempromosikan produk kayu yang menguntungkan di pasar Uni Eropa, termasuk pada produk dengan SVLK.
"Uni Eropa juga cenderung diskriminatif. Perdagangan dengan Indonesia dalam skema VPA untuk produk kayu hanya mencapai US$1 miliar per tahun. Namun dengan China yang tanpa VPA, perdagangan Uni Eropa untuk produk serupa mencapai US$9 miliar," tambahnya.
Keberterimaan SVLK juga menjadi tantangan tersendiri untuk ekspor produk kayu dan turunannya ke Jepang. Liana mencatat Pemerintah Kota Metropolitan Tokyo menerapkan green procurement policy. Dalam kebijakan ini, produk kertas yang pernah lepas dari standar FSC dan PEFC tidak bisa diikutsertakan dalam program GPP, meskipun memiliki SVLK.
Baca Juga
"Kami menilai kebijakan ini merupakan diskriminasi perdagangan dan dikhawatirkan akan ditiru oleh prefektur lain di Jepang atau negara lain," katanya.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengemukakan makin banyaknya penerapan standar produk di negara tujuan ekspor tak lepas dari makin bebasnya perdagangan.
Seiring dengan dihapusnya tarif dalam perdagangan bebas, satu-satunya cara yang bisa ditempuh suatu negara untuk membendung risiko banjir impor adalah dengan kriteria produk yang ketat.
"Tentu ini akan memengaruhi ekspor, terutama bagi eksportir yang tidak bisa memenuhi kriteria di negara tujuan," katanya.
Karena itu, lanjut Benny, pemerintah Indonesia perlu mendorong mutual recognition assessment (MRA) yang mengakomodasi pengakuan standardisasi Indonesia di negara tujuan dan sebaliknya. Dengan demikian, produk yang akan diekspor tidak perlu melalui tahap penilaian tambahan selama telah memenuhi kriteria penilaian di dalam negeri.
"Ada kalanya produk diuji dengan standar di negara tujuan ekspor, saat tidak memenuhi kriteria barang akan dikirim kembali di negara asal dengan biaya yang ditanggung eksportirnya," kata dia.
Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) Budhi Wibowo mengemukakan standar ekspor untuk produk perikanan mayoritas berkaitan dengan Sanitary and Phytosanitary (SPS).
Tetapi, dia menggarisbawahi soal adanya standar yang diterapkan negara lokasi buyer dan standar terpisah yang diterapkan oleh importir.
"Secara umum produk perikanan Indonesia tidak menghadapi masalah signifikan terkait pemenuhan standar dan kualitas. Usaha perikanan biasanya akan menyesuaikan permintaan atau standar buyer maupun negaranya," kata Budhi.