Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor Indonesia dinilai telah didukung oleh kehadiran lembaga penilai kesesuaian atau lembaga sertifikasi yang memadai. Tetapi, sertifikasi pada produk ekspor nasional masih menghadapi sejumlah tantangan.
Vice President Strategic Business Unit, Sertifikasi dan Eco Framework Sucofindo, BUMN penyedia jasa sertifikasi, Nurbeta Kurniawan mengatakan Indonesia telah memiliki lebih dari 180 lembaga sertifikasi yang telah terakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN) per Juli 2019.
Lembaga-lembaga ini menyediakan berbagai jasa penilaian standar seperti ecolabel, keamanan pangan, pangan organik, dan pemenuhan standar halal.
Selain itu, terdapat lebih dari 1.300 laboratorium pengujian yang telah terakreditasi, 280 laboratorium kalibrasi, dan 97 badan inspeksi.
"Lembaga sertifikasi di Indonesia sudah banyak dan mewakili banyak komoditas," kata Nurbeta, Kamis (23/9/2021).
Meski demikian, dia mencatat terdapat sejumlah tantangan yang dihadapi oleh lembaga penilai kesesuaian dalam menjalankan operasional. Sebagai contoh, Nurbeta mengatakan bahwa tak semua komoditas memiliki keberlanjutan ekspor meski lembaga sertifikasi telah menerima akreditas sebagai penilai resmi.
Baca Juga
"Kami sebenarnya siap mendukung dalam perdagangan, terutama terkait sertifikasi. Masalahnya, adakah keberlanjutan dari perdagangan komoditas tersebut? Contohnya kami sudah terakreditasi [sebagai penilai resmi], tetapi sustainability perusahaannya tidak berlanjut. Kami pernah ditunjuk sebagai penilai untuk produk elektronik yang akan diekspor ke Uni Eropa, namun eksportir yang mengajukan aplikasi penilaian sedikit. Di saat kami harus maintain akreditasi, applicant menurun," papar Nurbeta.
Dia menjelaskan pula Sucofindo memutuskan untuk tak lagi ikut serta sebagai penilai terakreditasi untuk standar Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Alasannya, kata dia, terdapat kriteria yang sulit dipenuhi oleh perusahaan sehingga pengajuan penilaian menjadi terbatas.
"Di RSPO ada syarat pemenuhan upah minimum pekerja, tetapi ada perbedaan perhitungan pelaku usaha dan regulasi yang menjadi perdebatan tersendiri. Kami putuskan untuk tidak di RSPO, tetapi masih ada lembaga penilaian lainnya," lanjutnya.
Tantangan terakhir, kata Nurbeta, menyangkut perluasan dan penguatan mutual recognition assessment (MRA) dan multilateral recognition assessment (MLA).
Dia menilai jika pengakuan antarbadan terakreditasi makin luas, lembaga penilai kesesuaian tidak perlu melalui proses audit oleh badan di luar negeri atau yang ditunjuk oleh otoritas negara tujuan.
"Perluasan bisa menjadi dukungan bagi kami dalam memperluas cakupan dan bisa membantu pelaku usaha untuk ekspor," katanya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Sistem Penerapan Standar dan Kesesuaian Badan Standardisasi Nasional (BSN) Konny Sagala mengatakan upaya untuk meningkatkan keberterimaan standar produk yang diterapkan di Indonesia juga dilakukan dengan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai lembaga seperti International Organization for Standardization (ISO ) dan International Electrotechnical Commission (IEC).
"Kita berupaya mengangkat keberterimaan standardisasi kita sehingga standar Indonesia tidak hanya bisa bermain di dalam negeri tapi juga diakui secara internasional," kata Konny.