Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Risyaf Fahreza

Analis Kebijakan di Pusat Kebijakan Sektor Keuangan, Badan Kebijakan Fiskal

Dia meraih gelar master di bidang ekonomi dari Eastern Michigan University.

Lihat artikel saya lainnya

Opini: Kesiapan Menghadapi Tapering

Inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja merupakan dua hal utama yang dipantau The Fed untuk melakukan kebijakan moneter, termasuk tapering.
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/3/2020). Bloomberg/Andrew Harrer
Gedung bank central Amerika Serikat atau The Federal Reserve di Washington, Amerika Serikat, Selasa (17/3/2020). Bloomberg/Andrew Harrer

Bisnis.com, JAKARTA - Isu tapering di Amerika Serikat (AS) terus menguat. Pemicunya adalah pernyataan Chairman the Fed pada simposium ekonomi tahunan Jackson Hole akhir Agustus lalu yang menyatakan bahwa the Fed akan mulai mengurangi laju pembelian obligasi sebelum akhir tahun ini.

Pernyataan Jerome Powell tersebut sebenarnya tidak datang tiba-tiba. Hanya menegaskan sinyal yang telah disampaikan the Fed sebelumnya.

Pada risalah FOMC Meeting yang dirilis Juli 2021 lalu, the Fed sebenarnya juga telah memberikan sinyal bahwa tapering dapat dilakukan lebih awal. Bahkan, jauh sebelumnya, para analis dan ekonom telah memperkirakan bahwa the Fed mungkin akan melakukan tapering off lebih dini. Pemulihan ekonomi AS yang tergolong cepat menjadi dasar dari perkiraan tersebut. Apalagi sejak indikator inflasi dan pengangguran menguat tajam.

Sejak awal the Fed memang selalu mengkomunikasikan bahwa inflasi dan kondisi pasar tenaga kerja merupakan dua hal utama yang dipantau dalam menentukan timeline penyesuaian kebijakan moneter, termasuk tapering. Hal ini agar pemberlakuan kebijakan tapering dapat diantisipasi dan tidak menimbulkan kepanikan di sektor keuangan.

Oleh sebab itu, ketika inflasi tahunan AS menyentuh level 5,4 persen pada Juli 2021 (Agustus 5,3 persen) atau level tertinggi dalam 13 tahun terakhir, pelaku pasar sudah meyakini bahwa the Fed akan segera melakukan tapering off.

Keyakinan tersebut juga didukung oleh tingkat pengangguran yang berada di posisi 5,4 persen pada periode tersebut (Agustus 5,2 persen) atau level terendah sejak Maret 2020. Meskipun rencana tapering ini telah diprediksi, banyak negara tetap memperhatikannya.

Alasannya, pemulihan ekonomi global saat ini belum berjalan merata. Bahkan, risiko ekonomi kembali tinggi seiring dengan meningkatnya penyebaran coronavirus varian Delta. Dengan adanya tapering, risiko yang dihadapi oleh perekonomian global akan semakin meningkat.

Dampak paling besar akan terasa di sektor keuangan. Meskipun the Fed dengan tegas menyatakan tidak akan terburu-buru menaikkan suku bunga acuan, pengurangan laju pembelian obligasi oleh the Fed kemungkinan besar diikuti oleh kenaikan yield di pasar obligasi AS karena berkurangnya permintaan.

Apabila yield obligasi Pemerintah AS ikut naik, risiko terjadinya capital outflow di banyak negara akan meningkat, terutama di negara-negara berkembang.

Kecenderungan investor di pasar keuangan untuk memindahkan dananya ke AS tentu akan berimplikasi ke banyak hal. Pertama, capital outflow tersebut akan meningkatkan risiko pelemahan harga di pasar saham. Demikian pula di pasar obligasi negara berkembang. Capital outflow akan mendorong harga obligasi melemah dan yield meningkat.

Dalam jangka menengah dan panjang, tingginya yield akan berdampak pada kenaikan beban bunga utang. Risiko selanjutnya akan mengarah pada nilai tukar. Kondisi ini akan meningkatkan beban biaya bagi korporasi, terutama yang tergantung oleh bahan baku impor dan pembiayaan perbankan.

Indonesia juga menghadapi risiko dari penerapan tapering di AS. Namun dampaknya kali ini diperkirakan tidak sebesar ketika the Fed melakukan hal yang sama pada 2013 atau periode yang lebih dikenal sebagai taper tantrum. Ada beberapa hal yang membuat Indonesia lebih siap.

Pertama, porsi kepemilikan asing pada Surat Berharga Negara (SBN) saat ini relatif jauh lebih rendah dibandingkan dengan periode taper tantrum lalu. Saat ini kepemilikan asing pada SBN berada di level 22,5 persen dan didominasi oleh investor jangka panjang, sehingga diharapkan dapat meredam tekanan capital outflow.

Kedua, secara fundamental makro ekonomi Indonesia saat ini jauh lebih siap. Misalnya, cadangan devisa berada pada level US$144,8 miliar, tertinggi sepanjang sejarah. Alhasil, Bank Indonesia (BI) memiliki amunisi yang sangat cukup untuk melakukan intervensi yang dibutuhkan apabila terjadi shock di pasar keuangan.

Ketiga, sinergi antara pemerintah, BI, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan dalam lingkup Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) semakin solid.

Pemerintah dan BI terus melakukan sinkronisasi kebijakan untuk menjaga stabilitas nilai tukar dan pasar SBN. Sinergi ini semakin diperkuat dengan adanya burden sharing jilid III antara pemerintah dan BI yang meningkatkan stabilitas pasar SBN.

Tak kalah penting, pola komunikasi the Fed dalam menyampaikan arah kebijakannya saat ini lebih baik bila dibandingkan dengan 2013. Hal ini penting sebab pernyataan bank sentral AS dapat dijadikan guideline untuk mengantisipasi dampak tapering.

Dari sisi makro, pemerintah perlu terus mengakselerasi pemulihan ekonomi dengan memprioritaskan penguatan kesehatan sebagai sektor fundamental.

Selanjutnya, penguatan kebijakan fiskal yang terarah, prudent dan kredibel perlu terus dilakukan untuk menjaga kepercayaan investor.

Last but not least, perlu terus didorong pendalaman pasar keuangan domestik, utamanya melalui peningkatan kapasitas investor domestik. Pasar domestik yang dalam akan memberikan jaminan stabilitas yang dibutuhkan dalam menghadapi risiko eksternal.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper