Bisnis.com, JAKARTA - Demokrat meloloskan Rancangan UU yang akan menangguhkan plafon utang AS hingga Desember 2022 dan untuk memberikan pendanaan pemerintah hingga 3 Desember. Namun, Republik menentang keras dan mengancam akan menghalanginya.
Dilansir Bloomberg pada Rabu (22/9/2021), langkah tersebut disetujui pada Selasa malam dengan perolehan suara 220 banding 211.
Penangguhan plafon utang sampai 16 Desember 2022 ini sangat mendesak karena Kementerian Keuangan AS telah memperingatkan bahwa negara berpotensi gagal bayar pada Oktober.
RUU ini ditolak oleh seluruh anggota Republik. Mereka bersumpah akan mencegahnya sampai ke meja Senat. Kebuntuan politik ini akan meningkatkan potensi bencana fiskal berupa penutupan (shutdown) pemerintah dan gagal bayar yang berdampak kepada Wall Street dan perekonomian AS secara lebih luas.
“Kita mengetes dengan utang di awal 2010-an dan kredit AS turun sedikit. Kami tidak akan menghindari utang kami," kata Pemimpin Mayoritas DPR Steny Hoyer.
Hingga saat ini masih belum jelas solusi yang ditawarkan Demokrat jika gagal membawa RUU tersebut maju ke Senat yang kemungkinan akan dilakukan pada akhir pekan ini.
Baca Juga
Salah satu alternatifnya adalah menghapus ketentuan plafon utang dari RUU pendanaan dan meloloskannya untuk menghindari penutupan pemerintah pada 1 Oktober.
Demokrat kemudian dapat menggunakan proses anggaran jalur cepat untuk meloloskan kenaikan plafon utang tanpa dukungan Partai Republik.
Namun, Demokrat ingin Republikan juga ikut bertanggung jawab secara politik terhadap utang AS yang meningkat saat administrasi dari kedua partai memimpin, menjelang pemilihan pada 2022. Partai Republik bersatu menentang keinginan tersebut.
"Selama berbulan-bulan, Demokrat telah mengejar agenda partisan radikal yang akan menumpuk triliunan utang. Dan mereka ingin Partai Republik membantu mereka mendapatkan pinjaman," kata Jason Smith, Kepala Komite Anggaran Republik.
RUU tersebut juga akan membuat badan pemerintahan bisa tetap beroperasi hingga 3 Desember.
Rencana beleid tersebut juga berisi pendanaan senilai US$28,6 miliar untuk pemulihan negara bagian setelah menghadapi serangkaian badai dan kebakaran hutan. Adapun, dana lainnya sebanyak US$6,3 miliar untuk penanganan pengungsi dari perang di Afghanistan.