Bisnis.com, JAKARTA — Neraca perdagangan Indonesia kembali mencetak surplus pada Agustus 2021 sebesar US$4,74 miliar. Neraca dagang bulan lalu menandakan berlanjutnya tren surplus yang ke-16 kalinya sejak Mei 2020.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$4,74 miliar diiringi oleh menguatnya permintaan ekspor, dengan pertumbuhan kinerja ekspor sebesar 64,10 persen (yoy), dan kenaikan harga komoditas. Sementara, impor bulan lalu tumbuh 55,26 persen (yoy).
Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira memperkirakan bahwa tren surplus bisa berlanjut ke depannya. Namun pada waktu yang sama, pemulihan permintaan dari dalam negeri perlu diwaspadai, mengingat hal tersebut bisa memicu kenaikan impor.
"Ini yang perlu dicermati. Karena di bulan Agustus ada tanda-tanda impornya juga tinggi untuk bahan baku dan barang modal juga mulai mengalami kenaikan atau pemulihan. Ini patut diwaspadai karena bisa menekan neraca dagang ke depannya," tutur Bhima kepada Bisnis, Kamis (16/9/2021).
Bhima mengatakan pemerintah dan berbagai stakeholder juga perlu mewaspadai pemulihan ekonomi domestik dan ekspektasi pertumbuhan ekonomi di 2022. Selain impor bahan baku dan barang modal, dia menilai potensi kenaikan impor barang konsumsi adalah yang paling harus diantisipasi.
Bhima menyarankan agar mulai sekarang dilakukan tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard terhadap impor barang konsumsi secara lebih ketat.
Baca Juga
Selain itu, pada sisi bahan baku, pemerintah perlu terus mendorong substitusi impor di dalam negeri. "Sehingga nanti tidak blunder. Jadi kita happy sekarang neraca dagang bagus dan surplus, tapi ke depannya bisa blunder defisitnya justru melebar. Jadi harus disiapkan," jelasnya.
Kemudian, Bhima mengingatkan bahwa negara-negara tujuan eskpor utama Indonesia, khususnya China, juga turut mencari pasar tujuan ekspor. Oleh sebab itu Bhima mewanti-wanti agar Indonesia turut meningkatkan kesiapan dalam negeri terkait dengan ketersediaan khususnya barang konsumsi.
"Ketika negara-negara tujuan ekspor utama khususnya China, itu meminta bahan baku sekarang ini dalam jumlah yang cukup besar baik tambang atau sawit, ini ekspektasinya mereka pun juga akan mencari pasar. Dan pasar yang cukup menggiurkan di Asia Tenggara salah satunya Indonesia. Jadi kita kirim ekspor komoditasnya, nanti [dikembalikan] dalam bentuk impor khususnya barang konsumsi. Kalau itu terjadi tanpa perlindungan dari dalam negeri, maka bisa berbalik arah jadi defisit perdagangan," tutupnya.