Bisnis.com, JAKARTA — Pemanfaatan insentif super tax deduction atau fasilitas pemotongan pajak untuk kegiatan vokasi dinilai masih sangat rendah. Para pelaku usaha dan industri dinilai takut perpajakannya akan dipantau ketat saat hendak menggunakan insentif tersebut.
Asisten Deputi Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Yulius menjelaskan bahwa pemberian insentif super tax deduction kegiatan vokasi sudah berjalan dua tahun. Insentif itu diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) 45/2019 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam Tahun Berjalan.
Dunia usaha dan dunia industri (DUDI) yang terlibat dalam pengembangan vokasi dapat mengajukan pemotongan pajak paling tinggi 200 persen dari biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan vokasi. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) per 31 Agustus 2021, baru terdapat 42 wajib pajak yang memanfaatkan fasilitas insentif tersebut.
Terdapat 429 perjanjian kerja sama yang terjalin selama dua tahun insentif diberikan, yakni melibatkan 383 lembaga vokasi dan 42.015. Yulius menilai bahwa jumlah itu terbilang sangat kecil dan perkembangannya belum optimal.
"Sudah hampir dua tahun tapi ini agak mandek, sehingga kita paham karena Covid-19 banyak perusahaan-perusahaan yang terkendala. Namun, masih ada perusahaan-perusahaan yang takut kalau insentif pajak ini diberlakukan nanti pajak-pajaknya akan diutak-atik oleh Dirjen Pajak," ujar Yulius dalam webinar bertajuk Super Tax Deduction untuk Peningkatan Kompetensi Generasi Muda Indonesia, Kamis (16/9/2021).
Menurutnya, pemerintah telah meyakinkan para pelaku industri bahwa keikutsertaan dalam insentif vokasi tidak akan membuat pajak perusahaan diutak-atik petugas pajak. Namun, jumlah DUDI yang memanfaatkan insentif belum bertambah secara pasti dan kekhawatiran tetap terjadi.
"Sosialisasinya [mengenai insentif tersebut] mungkin kurang banyak," ujarnya.
Wakil Ketua Umum Bidang Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Adi Mahfudz Wuhadji membenarkan bahwa insentif super tax deduction memang menjadi momok bagi para pengusaha. Kadin memang telah mendapatkan penjelasan tidak ada keterkaitan antara insentif itu dengan perpajakan lain, tetapi menurut Adi hal tersebut tidak mengubah cara pandang pengusaha.
Menurutnya, ketakutan terhadap fasilitas super tax deduction merupakan imbas dari berbagai kebijakan lainnya. Para pengusaha pun jadi cenderung berhati-hati jika menghadapi hal-hal terkait perpajakan.
"[Ketakutan] ini sebenarnya dampak dari pajak-pajak yang lain. Keterlambatan membayar pajak saja, khususnya PPN itu sudah argo berjalan kenda denda 2 persen, begitu juga dari setiap keterlambatan itu ada bunganya, yang kena denda juga 2 persen. Di situlah yang menjadi momok pikiran pengusaha sejujurnya," ujar Adi pada Kamis (16/9/2021).
Bukan hanya itu, para pengusaha pun menurutnya kerap terkendala saat akan memanfaatkan stimulus yang ada saat pandemi Covid-19. Dia mencontohkan bahwa saat pengusaha hendak mengajukan kredit modal kerja atau kredit investasi, perusahaan terkait harus dinilai mengalami wanprestasi dan hal tersebut turut membebani pelaku usaha.
"Tidak semudah itu. Begitu kita follow up ke bank, bank akan tanya bahwa 'oh, kalau anda minta keringanan, minta restrukturisasi, berarti perusahaan anda bisa dikatakan wanprestasi', itu kondisi riil yang terjadi di industri," ujarnya.