Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Keuangan akhirnya mengeluarkan takrif alias klarifikasi terkait kurangnya laporan dana dalam program Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) 2020 sebesar Rp169,69 triliun.
Selisih dana itu, sebelumnya ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lantas menerbitkan penjelasan mengapa terjadi selisih dana super jumbo hingga Rp146,69 triliun, dari total pos anggaran PC-PEN sebesar Rp695,2 triliun tersebut.
Dalam klarifikasinya, Kemenkeu menjelaskan bahwa selisih dana itu dialokasikan untuk tiga pos. Ketiganya adalah penanganan Covid-19 di internal kementerian dan lembaga (K/L), biaya burden sharing yang ditanggung Bank Indonesia (BI) dan pemerintah, serta program belanja subsidi yang telah dialokasikan.
Tentu dalih pemerintah yang menyatakan dana PC-PEN 2020 senilai Rp695,2 triliun itu digunakan untuk mendorong program-program yang bersifat prioritas sangat dapat diterima. Apalagi, dengan dana tersebut, penanganan Covid-19 serta pemulihan ekonomi nasional dalam APBN 2020 dapat terakselerasi sangat signifikan.
Namun, mengapa tetap muncul selisih anggaran yang sangat fantastis Rp146,69 triliun pada pos program prioritas yang sebenarnya telah diperhitungkan?
Logikanya, tidak mungkin selisih anggaran yang sangat besar dapat terjadi jika alokasi anggarannya untuk mendanai berbagai kegiatan yang telah ditetapkan. Kecuali, anggaran tersebut dimungkinkan untuk mendanai berbagai program nonprioritas.
Dengan demikian, ketiga pos yang dijelaskan Kemenkeu tadi, masih merupakan program prioritas yang melekat pada PC-PEN 2020. Oleh karena itu, sangat kecil kemungkinan terjadi selisih yang sangat besar karena semua program dan pos anggarannya telah diperhitungkan dengan cermat.
Tak heran, hingga kini publik terus berpolemik dan menuntut Kemenkeu transparan memberikan penjelasan ihwal pertanggungjawaban anggarannya. Namun, pertanyaannya, apakah publik puas dengan takrif Kemenkeu di atas?
Pembelaan otoritas fiskal diakui tidak lantas menutup mata publik yang telanjur curiga dengan temuan senilai Rp146,69 triliun itu. Alih-alih memberikan pencerahan, lemahnya ‘serangan balik’ yang dilayangkan Kemenkeu justru kembali menggoreskan tanda tanya yang makin besar. Kecurigaan masyarakat pun kian menggunung.
Jika ditelaah lebih dalam, takrif yang dirilis instansi pimpinan Sri Mulyani Indrawati itu justru kian memicu 'syak wasangka'. Pertama, pos penanganan Covid-19 K/L secara logika masih masuk ke dalam program PC-PEN.
PC-PEN diakomodasi di dalam UU No. 2/2020 tentang Penetapan Perppu No. 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Keuangan.
Intisari dari regulasi itu adalah memberikan kewenangan pemerintah untuk menyusun perangkat dan instrumen dalam rangka merespons pandemi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkan terhadap perekonomian negara.
UU itu kemudian diejawantahkan melalui puluhan aturan teknis yang fokus untuk menangani dampak pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi, yakni PC-PEN. Artinya, penanganan Covid-19 K/L termasuk di dalam cakupan PC-PEN.
Kedua, Kemenkeu berdalih mengenai biaya burden sharing. Sekadar mengingatkan, legalitas dari skema tersebut berdasar pada UU yang sama. Dengan kata lain, burden sharing diimplementasikan karena keterbatasan ruang fiskal pemerintah untuk merespons dampak pandemi Covid-19.
Ini pun sangat jelas tidak bisa dipisahkan dalam PC-PEN. Faktanya, dana yang dihasilkan melalui skema kerja sama tersebut juga dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan dalam program pemulihan ekonomi.
Ketiga dan yang cukup sensitif, belanja subsidi. Sangat jelas terlihat bahwa seluruh belanja yang dikucurkan pada tahun lalu masih berkaitan erat dengan PC-PEN. Hal yang kembali menimbulkan pertanyaan adalah perincian belanja subsidi tersebut.
Dengan mengacu pada Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020, belanja subsidi untuk sektor yang langsung bersentuhan dengan masyarakat mayoritas justru menurun.
Beberapa di antaranya adalah belanja subsidi minyak Solar yang turun dari Rp27,28 triliun pada 2019 menjadi Rp13,62 triliun. Belanja subsidi elpiji juga merosot dari Rp54,15 triliun menjadi Rp32,81 triliun. Belanja subsidi listrik pun dikikis dari Rp52,66 triliun menjadi Rp49,65 triliun.
Kemudian, belanja subsidi pupuk digerus dari Rp34,30 triliun menjadi Rp31,09 triliun, hingga belanja subsidi kredit sektor peternakan yang dipangkas dari Rp7,72 miliar menjadi Rp1,53 miliar.
Akan tetapi, belanja subsidi yang dikucurkan ke K/L hingga perusahaan pelat merah terpantau cukup deras. Antara lain belanja subsidi PT KAI dari Rp2,16 triliun pada 2019 naik menjadi Rp2,54 triliun pada 2020, dan belanja subsidi PT Pelni (Persero) dari Rp1,81 triliun menjadi Rp2,04 triliun.
Kemudian, belanja subsidi risk sharing KKP dan Energi dari Rp6,04 miliar menjadi Rp12,65 miliar. Khusus untuk belanja ini pemerintah bahkan memberikan alokasi tambahan senilai Rp12,29 miliar.
“Walaupun tidak dilakukan tagging atau penandaan khusus, dapat dipastikan terhadap realisasi belanja ini juga telah dilaporkan dalam LKPP Tahun 2020 [audited],” kata kata Rahayu Puspasari, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu dalam pernyataan yang dikutip Bisnis, Minggu (12/9).
Berkaca pada fakta tersebut, jelas alasan yang digunakan pemerintah untuk memindahkan alokasi kegiatan di luar PC-PEN sangat tidak wajar. Terlebih, otoritas fiskal tidak memaparkan secara detail mengenai alasan dari pemindahan kegiatan tersebut.
Klarifikasi yang disampaikan hanya berkutat pada narasi, yang sebenarnya tidak menyentuh substansi dari temuan BPK. Pasalnya, lembaga auditor eksternal itu melaporkan alokasi anggaran untuk program PC-PEN 2020 mencapai Rp841,89 triliun.