Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai wacana moratorium Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan kepailitan berpotensi menciptakan risiko moral atau moral hazard.
Bhima menduga usulan moratorium PKPU dan kepailitan ditujukan untuk menyelamatkan perusahaan-perusahaan yang sudah bermasalah sejak sebelum krisis pandemi Covid-19.
Perusahaan-perusahaan itu, tambahnya, diduga memanfaatkan situasi pandemi untuk menunda pembayaran utang sebagai tanggung jawab mereka sebagai debitur terhadap kreditur.
Kewajiban itu tidak hanya berbentuk pembayaran utang, namun juga penyelesaian hak tagih dan proses kepailitan untuk menjual ase-aset perusahaan.
"Jadi ini ada semacam moral hazard justru yang timbul dari ide moratorium ini. Karena yang dirugikan adalah pihak-pihak yang memiliki keterkaitan khususnya utang dengan perusahaan yang mengajukan pailit," jelas Bhima kepada Bisnis, Senin (6/9/2021).
Dalam kondisi krisis seperti ini, Bhima menilai wajar apabila terjadi peningkatan PKPU dan kepailitan. Dia menilai ketika perusahaan tidak mampu lagi untuk memenuhi kewajibannya, maka PKPU harus dibuka.
Baca Juga
Pasalnya, hal itu dapat menjadikan perusahaan transparan terhadap informasi terkait dengan aset riil yang dimiliki, kinerja keuangan, dan apakah memungkinkan untuk mencapai kesepakatan bersama antara debitur dan kreditur.
Selanjutnya, jika kesepakatan tidak tercapai, maka bisa masuk ke proses kepailitan. Meski proses itu memakan waktu lama, pihak kreditur dari perbankan maupun non-perbankan bisa mendapatkan hak-haknya.
"Di sini saya merasa kok sepertinya ada yang ingin disembunyikan. Apa karena ingin agar angka kepailitan dan jumlah perusahaan yang mengajukan penundaan pembayaran itu tidak terlalu tinggi gitu, ya. Jadi seakan ekonomi itu baik-baik saja, atau dalam situasi yang normal," katanya.
Oleh sebab itu, Bhima mengatakan pihak yang akan diuntungkan dari moratorium PKPU dan kepailitan adalah perusahaan-perusahaan yang disebut sebagai zombie company. Perusahaan-perusahaan itu, tambahanya, sebelum pandemi sudah bermasalah, dan bahkan pendapatan operasionalnya dihabiskan untuk membayar bunga utang.
Bhima menyebut perusahaan-perusahaan tersebut masih ingin melanjutkan bisnis mereka walaupun tidak mencetak untung. Hal itu, tambahnya, bisa lebih merugikan pada jangka panjang dan menyebabkan moral hazard yang lebih besar.
Hal ini juga bisa menyebabkan blunder bagi kredit-kredit bermasalah yang dimiliki oleh perbankan, karena tidak mampu melakukan eksekusi secara lebih cepat. Khususnya dalam penjualan agunan atau aset.
"Ini yang harusnya jadi pertimbangan pemerintah . Saya gak setuju, sih, dengan moratorium PKPU ini. Jadinya terkesan melindungi perusahaan-perusahaan yang sebenarnya bermasalah, bukan hanya karena Covid-19, tapi memang tata kelola keungannya," pungkasnya.