Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpukul Pandemi, Qantas Australia Catatkan Kerugian US$1 Miliar

Maskapai penerbangan berbendera Australia ini tersebut melaporkan kerugian sebelum pajak sebesar A$1,83 miliar (US$1,33 miliar) selama 12 bulan hingga 30 Juni, meningkat menjadi A$2,35 miliar atau US$1,7 miliar.
Logo maskapai penerbangan Qantas/Reuters
Logo maskapai penerbangan Qantas/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Maskapai penerbangan Qantas membukukan kerugian tahunan lebih dari US$1 miliar, setelah melewati tahun yang berat akibat pukulan pandemi pada industri perjalanan.

Maskapai penerbangan berbendera Australia ini tersebut melaporkan kerugian sebelum pajak sebesar A$1,83 miliar (US$1,33 miliar) selama 12 bulan hingga 30 Juni, meningkat menjadi A$2,35 miliar atau US$1,7 miliar, jika termasuk biaya satu kali seperti pembayaran redundansi dan pesawat mothballing.

Hal itu telah didahului kerugian sebelum pajak hampir US$2 miliar yang dilaporkan pada tahun keuangan sebelumnya, ketika maskapai penerbangan secara global dilanda dampak awal pandemi virus Corona.

CEO Qantas Alan Joyce memperkirakan pendapatan maskapai akan anjlok lebih dari A$20 miliar (US$14,5 miliar) pada akhir 2021 sebagai akibat dari Covid-19.

"Kerugian ini menunjukkan dampak setahun penuh penutupan perbatasan internasional dan lebih dari 330 hari pembatasan perjalanan domestik terhadap maskapai nasional," katanya dalam sebuah pernyataan, dilansir Channel News Asia, Kamis (26/8/2021).

Maskapai itu mengatakan periode perbatasan terbuka di Australia pada awal 2021 telah secara singkat meningkatkan pendapatan, tetapi kembalinya pembatasan internal setelah wabah varian Delta yang berkepanjangan di Sydney, telah memaksa pembatalan penerbangan yang meluas.

Selain ribuan pilot dan awak kabin yang diberhentikan pada 2020, Qantas baru-baru ini mengumumkan 2.500 karyawan lagi akan dipangkas sebagai tanggapan terhadap wabah terbaru.

Qantas kini berharap dapat kembali mengoperasikan penerbangan internasional pada akhir 2021, menyebut negara-negara dengan tingkat vaksinasi tinggi seperti Amerika Serikat, Inggris dan Singapura sebagai tujuan awal yang potensial.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper