Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ribut Soal Harga PCR Turun, Begini Saran Analis

Jika harga PCR terlalu tinggi, tentu akan membatasi jumlah konsumen. Namun jika terlalu rendah, pemasok bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan terbentuknya pasar gelap.
Petugas medis di RSUD Loekmono Hadi Kudus, Jawa Tengah, tengah melayani pemeriksaan tes swab PCR. /Antara-Akhmad Nazaruddin Lathif
Petugas medis di RSUD Loekmono Hadi Kudus, Jawa Tengah, tengah melayani pemeriksaan tes swab PCR. /Antara-Akhmad Nazaruddin Lathif

Bisnis.com, JAKARTA — Penurunan harga polymerase chain reaction (PCR) satu sisi dapat mendukung pengendalian pandemi Covid-19 dengan memacu testing dan tracing untuk membantu penentuan pola penyebaran virus ini dan intervensi yang diperlukan.

Sayangnya, kebijakan mematok harga hanya akan efektif kalau pasokan berlimpah dan semua komponen biaya diketahui oleh pemerintah.

Adapun dilema terjadi jika harga patokan terlalu tinggi, tentu membatasi jumlah konsumen. Namun jika terlalu rendah, pemasok bisa mundur sehingga terjadi kelangkaan atau bahkan terbentuknya pasar gelap.

“Testing dan tracing hanya satu komponen kecil dalam usaha pengendalian pandemi yang kompleks. Jadi, semakin terjangkaunya harga PCR itu hal yang baik. Namun, pemulihan ekonomi akan bergantung dari sinergi semua komponen seperti perubahan perilaku masyarakat dan kesuksesan program vaksinasi,” kata Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta, Jumat (20/8/2021).

Andree pun merujuk data terakhir dari Kementerian Keuangan memperlihatkan masih lemahnya testing dan tracing. Sementara dari total anggaran penanganan Covid-19 tahun ini sebesar Rp185,9 triliun, hanya Rp4 triliun yang digunakan untuk diagnostik yakni esting dan tracing.

Jumlah yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan alokasi vaksinasi sebesar Rp58 triliun dan Rp59,1 triliun untuk pengobatan.

Menurut Andree permintaan untuk tes PCR kini sudah pasti tinggi, jadi jalan menekan harga adalah dengan memastikan berlimpahnya pasokan. Namun, Indonesia tidak memproduksi PCR dan sepenuhnya bergantung pada impor, untuk itu perlu ditinjau kondisi bottleneck karena jumlah importir yang terlalu sedikit.

"Dengan impor PCR didominasi oleh pihak swasta, solusi jangka pendek dengan melibatkan BUMN bisa saja mengendalikan harga, tetapi ini bukan solusi terbaik karena mengikuti harga patokan pemerintah tidak serta merta membuat mereka tidak merugi," ujarnya.

Andree menyebut pengambilalihan oleh BUMN juga dapat meningkatkan risiko disrupsi dan bottleneck karena jalur masuk pasokan menjadi sempit.

“Harga bisa saja kelihatan murah, tetapi tiba-tiba tidak ada stok jalur yang cuma satu itu terdisrupsi. Malah kita perlu lebih banyak importir untuk mengurangi risiko disrupsi dan menekan harga,” katanya.

Walaupun demikian, Andree menyebut tidak mudah untuk menilai efektivitas kebijakan ini tanpa informasi lengkap mengenai komponen biaya.

Oleh karena itu, menjadi penting untuk memperhatikan reaksi pasar. Jika setelah harga dipatok malah banyak lab yang tidak menawarkan PCR lagi atau terjadi kelangkaan PCR, berarti harga tersebut tidak bisa menutupi biaya lab.

"Solusi paling aman adalah menambah pasokan dengan memperbanyak jalur impor. Untuk jangka menengah dan panjang, solusi yang dibutuhkan adalah menarik investasi pada manufaktur alat kesehatan dalam negeri," ujar Andree.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ipak Ayu
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper