Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai pandangan beberapa pihak yang menyatakan bahwa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap akan membawa kerugian bagi PT PLN (Persero) tidak tepat dan menyesatkan.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa mengatakan bahwa berdasarkan kajian USAID & NREL (2020), jika kapasitas PLTS atap mencapai 3 gigawatt (GW) dengan tingkat tarif saat ini, penurunan pendapatan PLN sangat kecil, yakni hanya 0,2 persen. Sementara itu, sampai dengan Januari 2021, jumlah kapasitas PLTS atap di pelanggan PLN baru sebesar 22,63 megawatt (MW).
“Jelas sekali ada ketakutan berlebihan dan upaya sistematis untuk membesar-besarkan hal yang sebetulnya bukan isu penting dari revisi Permen ini [Permen PLTS Atap],” kata Fabby melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/8/2021).
Bahkan pada sejumlah sistem kelistrikan, misalnya di Jawa-Bali, meningkatnya populasi PLTS atap yang menghasilkan listrik di siang hari dapat membantu memangkas biaya produksi listrik dari PLTG/PLTGU yang beroperasi di beban menengah (load follower). Dengan demikian, menurut Fabby, peningkatan kapasitas PLTS atap di sistem Jawa-Bali justru bisa berdampak pada penurunan biaya pokok penyediaan (BPP) PLN.
Dia juga menilai klaim yang menyebut bahwa nilai transaksi ekspor listrik PLTS atap dihitung 1:1 atau 100 persen akan merugikan PLN karena ada losses di jaringan listrik, sebaiknya dikaji secara serius karena adanya PLTS atap justru bisa saja memperbaiki kualitas tegangan dan menurunkan losses distribusi.
"Penggunaan PLTS atap di segmen komersial dan industri punya dampak menurunkan biaya BPP PLN dan subsidi. Dengan penggunaan listrik captive dari PLTS atap oleh komersial dan industri, PLN didorong untuk mengoptimalkan operasi pembangkitnya dan mengefisienkan specific fuel consumption (SFC) pembangkit-pembangkitnya sehingga berdampak pada penurunan BPP," kata Fabby.
Baca Juga
Penggunaan PLTS atap juga dinilai membawa manfaat ekonomi yang besar dan dapat menjadi mesin pemulihan ekonomi pasca Covid-19. Dia mengatakan, pertumbuhan PLTS atap dapat membuka lapangan kerja tambahan dari hadirnya industri PLTS dan tumbuhnya rantai pasok PLTS.
Selain itu, kapasitas PLTS atap sebesar 1 GW dapat memangkas 1,05 juta ton CO2 per tahun. Ini tentunya dapat berkontribusi terhadap target memangkas emisi gas rumah kaca 29 persen pada 2030 dan dekarbonisasi sebelum 2060.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem PLTS Atap oleh Konsumen PT PLN (Persero). Salah satu poin yang akan direvisi adalah nilai transaksi ekspor listrik dari PLTS atap akan dipebesar dari sebelumnya hanya 65 persen menjadi 100 persen atau 1:1.