Bisnis.com, JAKARTA – Upaya pemerintah mendorong penggunaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap untuk mempercepat bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebanyak 23 persen di 2025 dikhawatirkan berdampak terhadap sistem kelistrikan PLN.
Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia Iwa Garniwa mengatakan bahwa meski harga PLTS atap relatif murah, tetapi fasilitas itu bersifat intermiten atau tidak bisa berdiri sendiri.
“Saya kasih contoh, jika tiba-tiba awan lewat maka pasokan turun ke sistem. Lalu siapa yang memikul itu?” ujar Iwa, dikutip dari siaran pers, Minggu (15/8/2021).
Menurutnya, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Pemerintah sebaiknya memperkuat sektor tersebut untuk meningkatkan bauran energi.
“Saya melihatnya kita itu kebiasaan ingin gampang, tidak smart. Paling gampang kan beli PV [photovoltaic],” katanya.
Iwa menambahkan, masuknya PLTS atap secara masif tidak boleh melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga.
PLN sebagai pemikul penggunaan solar PV, kata dia, pasti memiliki keterbatasan terkait keandalan pasokan dan harga kelistrikan.
Indonesia sendiri saat ini memiliki 22 sistem kelistrikan yang masing-masing harus dibuatkan grid operasi. Karena itu, menurutnya, harus dihitung berapa persen yang intermiten masuk ke dalam sistem agar memenuhi operasi yang andal, kualitas bagus, dan mutu baik.
Dia menilai, upaya mendorong pemanfaatan PLTS atap secara masif tidak mempertimbangkan dampak terhadap biaya pokok produksi (BPP) PLN.
Dia mengumpamakan jika 50 persen rumah di sebuah perumahan menggunakan PLTS atap tanpa baterai, tentu PLN akan menghitung ulang BPP saat akan membangun gardu distribusi di wilayah itu.
“Berapa investasinya dan berapa harapan kWh yang dijual? Lalu 50 persen tadi memakai PLTS atap, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli. Ini apa yang terjadi,” katanya.
Jika melihat data statistik, kata Iwa, Indonesia hanya menyumbang emisi 1,8 persen, China 2,8 persen, dan Jepang 3,3 persen. Bahkan Amerika Serikat menyumbang emisi hingga 14,5 persen. Artinya, Indonesia tidak dianggap sebagai negara yang mengotori langit dunia.
Fakta kedua, lanjutnya, sebanyak 68 persen pembangkit atau bahan baku pembangkit di Indonesia masih menggunakan batu bara yang harga jual listriknya termurah. Dari dua fakta ini, Iwa menyarankan untuk tidak terburu-buru dan terlalu masif mengembangkan PLTS atap.
Dia juga mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sementara itu, dari sisi PLN listrik harus beroperasi dengan andal, berkualitas baik, dan ekonomis.