Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memperkirakan ekonomi pada 2022 akan tumbuh sebesar 5 hingga 5,5 persen. Namun, ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 diperkirakan masih tinggi.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan dinamika ekonomi pada 2022 masih akan dibayangi oleh beragam isu, namun jika dapat dimitigasi oleh pemerintah, maka target pertumbuhan ekonomi pemerintah diperkirakan dapat tercapai. Pertama, dia mengatakan, yaitu bagaimana penanggulangan pandemi Covid-19 dilakukan pada tahun depan.
Sebagai ilustrasi, pemerintah menargetkan vaksinasi mencapai 208 Juta orang. Namun, hingga 9 Agustus 2021, realisasi dosis masyarakat yang sudah di vaksinasi baru mencapai 74, 8 juta orang. Dengan asumsi pemerintah melakukan vaksinasi 500.000 orang per hari, maka proses vaksinasi diperkirakan paling cepat selesai di Mei 2022.
“Belum lagi berbicara kapasitas test, tracing, dan isolasi dari pemerintah yang juga relatif masih rendah. Oleh karena penanggulangan pandemi dari sisi kesehatan masih menjadi kata kunci bagi pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi di tahun depan,” katanya kepada Bisnis, Senin (16/8/2021).
Kedua, yaitu bagaimana pemerintah memilih sektor yang akan didorong untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
“Ini juga menjadi penting di tahun depan. Sektor Industri manufaktur tentu tidak boleh terlewatkan untuk dipilih, oleh karena itu mendorong kembali reindustrialisasi menjadi agenda penting di tahun depan,” jelasnya.
Baca Juga
Selain mendorong investasi yang lebih tinggi, proses reindustrialisasi pada 2022 dinilai juga harus mendorong industri di dalam negeri untuk lebih banyak terlibat pada global value chain atau rantai nilai pasok global.
Menurut Yusuf, selain asumsi pertumbuhan ekonomi, asumsi makro lain yang juga perlu diwaspadai adalah perkiraan suku bunga surat utang negara (SUN) 10 tahun yang mencapai 6,82 persen.
Dia mengatakan, pada tahun depan the Fed, bank sentral Amerika Serikat, secara bertahap akan menaikan suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga acuan tersebut tentu akan berdampak pada kenaikan imbal hasil US Treasury.
“Muaranya juga akan berdampak kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah. Sehingga ada potensi cost of fund akan menjadi lebih mahal,” jelasnya.
Dia mengatakan masalah kenaikan suku bunga acuan the Fed juga secara tidak langsung akan mempengaruhi arah pergerakan nilai tukar rupiah di tahun depan.
“Namun, saya kira pergerakan nilai tukar masih akan berada di kisaran yang ditargetkan oleh pemerintah di tahun depan,” tambahnya.