Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah disarankan untuk meningkatkan efisiensi sistem ekspor impor Indonesia dengan mengevaluasi sejumlah kebijakan, salah satunya pada penerapan hambatan nontarif (non-tariff measures/NTM).
Hambatan nontarif disebut menambah biaya dan waktu karena tidak disertai dengan infrastruktur dan sistem yang memadai.
“Survey International Trade Center tahun 2016 mengenai perspektif perusahaan Indonesia mengemukakan berbagai keluhan mereka mengenai NTM teknis, inefisiensi sistem serta penerapan NTM yang seringkali mengakibatkan keterlambatan dan hambatan prosedural. Keluhan-keluhan tersebut seharusnya menjadi masukan untuk mereformasi sistem ekspor impor di Tanah Air,” kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam siaran pers, Selasa (3/8/2021).
Inefisiensi dalam sistem dan pelaksanaan NTM disebabkan salah satunya oleh infrastruktur lokal dan kapasitas para staf. Hambatan prosedural yang sering muncul antara lain adalah berulangnya permintaan dokumen, biaya sertifikasi yang mahal, sikap staf yang tidak profesional dan bahkan pungutan tidak resmi.
Felippa menambahkan bentuk inefisiensi lainnya adalah lamanya bongkar muat kontainer atau dwelling time di Indonesia yang diperkirakan berlangsung selama lima hari, jauh lebih lama kalau dibandingkan dengan durasi bongkar muat 1,5 sampai 2 hari di Singapura dan Hong Kong.
“Lamanya bongkar muat sangat dipengaruhi oleh proses perizinan bea cukai dan prosedur inspeksi yang dilakukan oleh pihak pelabuhan,” kata Felippa.
Dalam banyak kasus, bongkar muat bahkan bisa berlangsung hingga berbulan-bulan, terutama pada masa sibuk. Berlarutnya proses ini menyebabkan biaya tambahan, seperti untuk transportasi dan penyimpanan dan dapat mengakibatkan kerusakan komoditas yang tidak tahan lama seperti sayuran dan buah-buahan.
“Hambatan prosedural yang ada di lapangan perlu diminimalisir, seperti meningkatkan kapasitas proses bongkar muat dan pemeriksa,” jelas Felippa dengan menambahkan bahwa perbaikan infrastruktur dan sistem perlu dilakukan untuk menekan biaya kepatuhan atau compliance cost.
Dia mengatakan pemerintah perlu berinvestasi untuk memperbaiki infrastruktur fisik, seperti kapasitas inspeksi di pelabuhan dan fasilitas karantina, maupun sumber daya manusia yang terlibat dalam proses dan dengan demikian akan dapat mengurangi keterlambatan prosedural yang mahal.
CIPS juga merekomendasikan agar pemerintah melakukan penilaian berkala atas dampak regulasi atau regulations impact assessment (RIA) atas kebijakan NTM dengan melibatkan sektor swasta sebagai pihak yang memiliki informasi dan yang paling terdampak. Hasil RIA harus bisa digunakan untuk menyederhanakan kebijakan nontarif yang ada.
Jika RIA menemukan bahwa implementasi hambatan nontarif mengakibatkan munculnya biaya yang melebihi jumlah keuntungan, lanjut Felippa, maka hambatan tersebut perlu dihapuskan. RIA juga harus dilakukan untuk NTM yang akan datang.
“Langkah ini memastikan tanggung jawab pemerintah terhadap rancangan kebijakan mereka, dan mendukung proses regulasi yang lebih baik. Melalui RIA, NTM bisa dirancang dengan dampak gangguan perdagangan yang minimal terhadap mutu atau harga barang,” ujarnya.
Terakhir, penggunaan sistem impor otomatis perlu dipertimbangkan karena sistem ini memungkinkan pihak yang memenuhi persyaratan untuk mengajukan izin impor.
Sistem dikelola secara transparan dan memungkinkan pihak yang mengajukan izin impor untuk lebih responsif terhadap kebutuhan pasar tanpa terkendala prosedur yang panjang.