Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Jalan Tol Indonesia (ATI) belum dapat memberikan respon definitif terhadap wacana implementasi pajak karbon senilai Rp75 per kilogram karbon. Namun demikian, asosiasi menilai kebijakan fiskal tersebut dapat berdampak positif.
Sekretaris Jenderal ATI Krist Ade Sudiyono mengatakan pihaknya masih terus memonitor diskusi pajak karbon yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, lanjutnya, ATI belum dapat memberikan dampak komprehensif terkait isu tersebut.
"Banyak orang mengatakan harusnya yang terdampak [industri] manufaktur [sebagai] produsen karbon. Kalau kami orang [di industri] yang terpapar [karbon] harusnya dapat benefit, tapi lihat nanti regulasi final terkait hal ini," katanya dalam Konferensi Pers Rapat Tahunan ATI 2021, Jumat (9/7/2021).
Diwartakan Bisnis.com, subjek pajak karbon adalah orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu.
Ketentuan subjek pajak dan pemungutannya akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan, setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
"Pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan terkait pajak karbon dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketentuan umum dan tata cara perpajakan," dikutip dari draf revisi RUU KUP tersebut.
Baca Juga
Ekonom Bahana Sekuritas Raden Rami Ramdana, Satria Sambijantoro, dan Dwiwulan dalam laporannya menyampaikan bahwa di Indonesia, emisi CO2 per sektor didominasi oleh industri sebesar 37 persen, serta listrik dan transportasi 27 persen, dengan emisi CO2 terkait energi mencapai 625 MtCO2 di 2019.
Pengenaan tarif pajak karbon diusulkan sebesar US$5 hingga US$10 per ton CO2. Kisaran tarif tersebut dinilai masuk akal mengingat tarif yang lebih agresif di negara lain.
“Kami memperkirakan potensi penerimaan pajak karbon pada tahun pertama implementasi sekitar Rp29 triliun hingga Rp57 triliun atau 0,2-0,3 persen dari PDB, dengan asumsi tarif pajak sekitar US$5-1US$0 per tCO2 yang mencakup 60 persen emisi energi,” tulisnya.
Berdasarkan perkiraan International Monetary Fund (IMF), jika Indonesia menerapkan pajak karbon sebesar US$75 per tCO2 secara menyeluruh, maka harga energi rata-rata akan meningkat cukup besar.
Peningkatan harga tersebut akan terjadi pada batu bara, gas alam, listrik, dan bensin, yang masing-masing akan meningkat sebesar 239 persen, 36 persen, 63 persen, dan 32 persen.