Bisnis.com, JAKARTA – Ekspor Indonesia senilai US$546,2 juta atau setara dengan Rp7,92 triliun berhasil diselamatkan dari pengenaan instrumen pengamanan (trade remedies) di negara tujuan ekspor sepanjang semester I/2021. Nilai ini jauh meningkat dibandingkan dengan penyelamatan sepanjang 2020 yang berjumlah US$US$363,3 juta.
Peningkatan nilai ekspor yang selamat dari trade remedies sejalan dengan tren terminasi trade remedies oleh negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Dalam laporan terbarunya, WTO menyebutkan penghentian trade remedies berjumlah rata-rata 17,4 kasus per bulan dalam kurun pertengahan Oktober 2020 sampai pertengahan Mei 2021.
Angka tersebut jauh meningkat dibandingkan dengan periode pertengahan Mei 2020 sampai pertengahan Oktober 2020 yang hanya berjumlah 7 kasus per bulan.
Di sisi lain, inisiasi trade remedies dalam kurun yang sama turun menjadi hanya 15 kasus per bulan. Pada periode pertengahan Mei 2020 sampai pertengahan Oktober 2020, rata-rata inisiasi trade remedies mencapai 33 per bulan dengan akumulasi 165 kasus.
Meski demikian, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan penggunaan instrumen perdagangan yang restriktif masih mungkin digunakan selama masa pemulihan. Terlebih dengan kondisi perdagangan dunia yang belum menunjukkan pertumbuhan signifikan setelah turun 5 persen pada 2020.
“Kebijakan restriktif khususnya diberlakukan untuk produk-produk tertentu dengan alasan perlindungan kesehatan bagi masyarakat, pengamanan dari lonjakan impor, dan menyelamatkan industri domestik,” kata Lutfi kepada Bisnis, Sabtu (3/7/2021).
Baca Juga
Di sisi lain, Lutfi mengayakan trade remedies yang dikenakan secara global masih cukup tinggi, meskipun pandemi masih berlangsung. Hal ini setidaknya terlihat dari jumlah notifikasi yang disampaikan oleh para negara anggota WTO atas penerapan trade remedies.
Dari data WTO pada 2020, tercatat terdapat 12 measures dalam bentuk safeguard, 113 measures antidumping, dan 24 countervailing measures yang diberlakukan oleh seluruh anggota WTO.
Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana mengatakan peningkatan terminasi penyelidikan sebanyak dua kali lipat belum dapat disimpulkan sebagai tren ditinggalkannya kebijakan restriktif atau proteksionis oleh negara-negara WTO.
Dia mengatakan terdapat sejumlah faktor yang menjadi pertimbangan suatu negara dalam menghentikan inisiasi. Salah satunya adalah pertimbangan kepentingan nasional.
“Terminasi tanpa pengenaan bea masuk bisa diambil manakala pemerintah mengkalkulasi bahwa penerapan trade remedies justru lebih banyak merugikan industri pengguna, industri hilir, dan juga konsumen akhir,” katanya.
Hal ini setidaknya terlihat pada kasus pembatalan penerapan BMAD atas produk viscose spun yarn (benang viscose) asal Indonesia oleh India pada April 2021. Pembatalan dilakukan karena karena industri hilir India tidak memiliki suplai cukup di dalam negeri untuk proses produksi barang jadi tekstil mereka.
Terminasi atau penghentian bisa juga dilakukan atas pertimbangan penanganan pandemi. Wisnu menjelaskan banyak negara yang mengutamakan aliran perdagangan bebas atas barang yang diperlukan untuk penanganan pandemi seperti obat-obatan, vitamin, masker dan APD, hand sanitizer dan peralatan medis lainnya.
“Pemerintah Brasil dan Argentina contohnya, memutuskan menghentikan BMAD untuk produk jarum suntik dan kantong darah serta peralatan kesehatan lainnya,” kata dia.
Momen pemulihan ekonomi turut memengaruhi kelanjutan terminasi. Beberapa negara tercatat telah memasuki masa pemulihan yang ditandai dengan peningkatan ekspor seiring dengan melandainya kurva infeksi Covid-19.
Negara-negara ini memerlukan jaminan kontinuitas pasokan bahan baku dan bahan penolong bagi proses produksi mereka sehingga beberapa penyelidikan dihentikan tanpa pengenaan bea masuk trade remedies.
Plt Direktur Pengamanan Perdagangan Pradnyawati mengatakan tren penurunan kebijakan restriktif global tampaknya hanya bersifat sementara karena pandemi.
Angka terminasi dalam laporan WTO sendiri merupakan gabungan dari jumlah bea masuk yang sudah selesai masa pemberlakuannya dan tidak diperpanjang kembali, ditambah dengan jumlah penyelidikan yang dihentikan tanpa penerapan bea masuk.
“Salah satu contoh kasus penerapan BMAD yang tidak diperpanjang kembali adalah ekspor Ammonium Nitrate asal Indonesia yang dihentikan penerapan BMAD-nya oleh India pada Juni 2021 lalu setelah pemberlakuan BMAD selama 5 tahun,” kata Pradnyawati.