Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Senior Faisal Basri mendorong agar pemerintah bisa menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) secara signifikan ketimbang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sembako.
Menurut Faisal, produk rokok justru membelenggu kelompok masyarakat miskin karena tingginya pengeluaran mereka untuk konsumsi rokok. Dari data Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, Faisal memaparkan tembakau dan sirih merupakan pengeluaran terbesar kedua masyarakat sebesar 12,32 persen, di antara pengeluaran per kapita dalam sebulan untuk makanan masyarakat.
Di Indonesia, konsumsi masyarakat untuk pangan masih mendominasi bahkan terus naik dalam kurun waktu dua tahun terakhir yaitu di atas 50 persen dari total konsumsi. Hal tersebut menunjukkan mayoritas masyarakat Indonesia masih rentan atau insecure.
Secara spesifik untuk masyarakat miskin, bahkan konsumsi masyarakat untuk pangan lebih tinggi yaitu 71,99 persen di perkotaan, dan 76,55 persen di pedesaan. Sementara itu, pengeluaran untuk konsumsi rokok merupakan penyumbang terbesar kedua yaitu 13,50 persen di perkotaan, dan 11,85 persen di pedesaan.
“Rokok ini harus dihukum. Jangan sampai rokok membelenggu kita, terutama orang miskin. Oleh karena itu itu, ayo kita dorong jadikan [rokok] ini sebagai sumber pendapatan tambahan pemerintah. Jangan ragu untuk naikkan 10 persen setiap tahun untuk cukai rokok. Itu salah satu tambahan penerimaan kita,” ujar Faisal dalam Webinar Nasional 58 PATAKA, Kamis (7/1/2021).
Di sisi lain, Faisal juga mengingatkan pemerintah untuk kembali mempertimbangkan wacana pemungutan PPN sembako. Pasalnya, konsumsi masyarakat di Indonesia masih sangat didominasi oleh barang pangan.
“Jadi pemerintah tentunya harus hati-hati jangan sampai gara-gara PPN ini jumlah masyarakat miskin ini naik. Karena, dominasi dari konsumsi orang miskin yang tercermin dari garis kemiskinannya kira-kira tiga perempatnya untuk pangan,” kata Faisal.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyatakan bahwa Indonesia perlu memperluas basis cukai bagi produk yang memiliki eksternalitas negatif, misalnya terkait dengan kesehatan atau lingkungan.
Hingga saat ini, Sri menyebut Indonesia baru mengenakan cukai bagi tiga produk dengan eksternalitas negatif tinggi seperti etil alkohol, minuman beralkohol, dan hasil tembakau. Padahal, banyak negara maju yang telah mengenakan biaya cukai untuk produk-produk dengan eskternalitas negatif yang tinggi.
Tidak hanya untuk alkohol, dan tembakau, negara-negara seperti Thailand, Kamboja, Vietnam, Laos, dan Myanmar turut mengenakan biaya cukai untuk plastik dan makanan/minumas berpemanis.
“Jadi dalam hal ini, Indonesia yang baru mengenakan [cukai] untuk tiga jenis barang, merupakan negara yang menerapkan cukai yang sangat-sangat terbatas, dibandingkan banyak negara lain yang memiliki basis penerapan cukai di dalam rangka menangani eksternalitas ini,” jelas Sri dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI secara virtual, Senin (28/6/2021).