Bisnis.com,JAKARTA - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyayangkan rencana revisi Peraturan Pemerintah No 109/2012.
Beleid itu mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan.
Revisi ini dinilai tidak tepat apabila dilakukan pada situasi pandemi karena akan semakin memperburuk kondisi petani tembakau yang mayoritas adalah nahdliyin.
“Harusnya Pemerintah memberikan angin segar kok malah mau membunuh petani tembakau, mayoritas petani tembakau merupakan warga Nahdliyin. Mereka akan sangat terdampak,” ungkap Abdullah, peneliti Lakpesdam PBNU, Rabu (16/6/2021).
Menurutnya, petani merupakan kelompok paling rentan yang harus dilindungi di industri hasil tembakau terutama di masa Covid-19. Dia mengatakan petani harus dipikirkan ketimbang merevisi PP 109 yang tidak ada relevansinya sama sekali.
“Petani tembakau sebelumnya saja sudah menjerit. Kalau direvisi peluang mereka semakin sempit ya semakin nyungsep,” kata Abdullah.
Dia menegaskan kebijakan yang diambil ke depan harus berpihak pada petani. Sebelumnya sejumlah asosiasi di industri hasil tembakau seperti RTMM, Gappri dan Gaprindo juga kompak menyatakan penolakannya terhadap revisi PP 109 yang dianggap akan mematikan industri tembakau yang selama ini telah memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian Indonesia.
IHT l, tuturnyq, telah menciptakan multiplier effect dan memberikan kontribusi besar terhadap ekonomi nasional. Serapan tenaga kerja di industri ini sebesar 6,4 persen terhadap seluruh pekerja industri manufaktur. Sektor ini memberi dampak yang signifikan bagi ekonomi dengan rantai pasok hulu-hilirnya yang berada di Indonesia.
Sebagaimana diketahui, berbagai organisasi antitembakau yang mendorong upaya revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.