Bisnis.com, JAKARTA -- Bonus demografi diperkirakan tidak akan mendongkrak daya saing pasar kerja RI di kawasan Asia. Sebab, produktivitas pekerja di Indonesia yang masih rendah berpotensi menggagalkan upaya memaksimalkan kontribusi bonus demografi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Menurut World Bank, Indonesia tidak meraup cukup banyak keuntungan dari bonus demografi, di mana 50 persen populasi berumur di bawah 30 tahun dan diperkirakan mencapai puncaknya dalam kurun 2025 - 2030, sebagaimana negara Asia lainnya yang juga memiliki kondisi serupa.
Menurut perkiraan World Bank dalam laporan terbarunya berjudul Pathways to Middle Class JobS in Indonesia, pada akhir 2030, bonus demografi tidak berkontribusi signifikan terhadap pendapatan per kapita Indonesia yang diprediksi berada di kisaran US$2.583 - US$3.709.
Angka tersebut hanya 25 persen dari total pendapatan per kapita Korea Selatan pada akhir periode bonus demografi negara tersebut. Saat itu, tepatnya pada 2010, Negeri Ginseng berhasil memiliki pendapatan per kapita senilai US$16.219.
"Artinya, pada periode penutupan jendela bonus demografi nanti, Indonesia tidak dapat mengandalkan faktor akumulatif, terutama dari surplus angkatan kerja, untuk mendorong pertumbuhan ekonomi pada masa mendatang," ungkap World Bank dalam laporan tersebut, seperti dikutip Bisnis, Rabu (30/6/2021).
Sebagaimana dipahami, produktivitas pekerja merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Peningkatan nilai tambah per pekerja di Indonesia berkontribusi sebanyak 88 persen terhadap 3,9 persen pertumbuhan pendapatan per kapita di Indonesia periode 2007 - 2017.
Baca Juga
Namun, sejumlah persoalan disadari masih menjadi penghalang bagi Indonesia untuk meraup keuntungan dari berkah demografi yang puncaknya akan terjadi kurang dari 1 dekade lagi. Dengan demikian, penyerapan tenaga kerja dalam upaya pemulihan ekonomi dapat maksimal.
Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas menilai kapasitas kemampuan para pekerja serta keseriusan perusahaan dalam memberikan pelatihan dinilai menjadi salah satu masalah yang harus diselesaikan pemerintah untuk memaksimalkan upaya penyerapan tenaga kerja pada masa pemulihan ekonomi.
"Sebab, kesadaran meningkatkan kemampuan pekerja memang masih menjadi masalah besar," ujarnya Rabu (30/6/2021).
Survei persepsi ketenagakerjaan terhadap perusahaan sedang dan besar di sektor manufaktur yang pernah dilakukan World Bank menunjukkan hanya sekitar 15 persen dari manajemen perusahaan yang memasukkan pelatihan sebagai isu prioritas yang harus ditangani.
Lalu, hanya 8 persen dari pekerja yang menganggap pelatihan sebagai prioritas. Vivi mengatakan alasan utama para pekerja tidak mengambil pelatihan adalah tidak ada pelatihan yang sesuai.
Dia pun berharap, program Kartu Prakerja bisa menjadi salah satu pendorong agar kesadaran perusahaan dan pekerja bisa muncul dan terjadi peningkatan kemampuan angkatan kerja di Tanah Air sehingga kualitas pekerja yang terserap bisa sesuai dengan kebutuhan industri.
"Program Kartu Prakerja diharapkan tidak hanya memberikan akses pelatihan kepada jutaan orang, tapi juga mendorong terciptanya lembaga pelatihan baru, serta mampu mendorong perusahaan untuk ikut memprioritaskan pelatihan bagi pekerja," ujarnya.
Dengan demikian, kekhawatiran bahwa bonus demografi diperkirakan tidak akan mendongkrak daya saing pasar kerja RI akibat produktivitas pekerja di Indonesia yang masih rendah tidak terjadi dan peluang pemerintah serta dunia usaha dalam memaksimalkan sektor ketenagakerjaan terus terbuka.