Bisnis.com, JAKARTA – Rancangan baru besaran pungutan ekspor (PE) untuk produk minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya mendapat sambutan positif dari pelaku usaha.
Nilai pungutan dinilai lebih adil dan mengakomodasi kebutuhan untuk mendorong ekspor komoditas utama nonmigas tersebut.
Dalam konferensi pers APBN Kita, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengumumkan pemerintah akan menaikkan threshold alias ambang batas harga referensi CPO yang dijadikan acuan pengenaan pungutan ekspor.
Jika dalam PMK No. 191/2020 pungutan ekspor mulai diberlakukan saat harga referensi CPO berada di atas US$670 per ton, maka regulasi baru akan menetapkan harga referensi CPO di atas US$750 sebagai ambang batas.
Revisi pada regulasi soal pungutan ekspor juga akan menyasar besaran kenaikan tarif. Dalam aturan yang berlaku saat ini, tarif terendah dipatok US$55 per ton ketika harga referensi CPO sama atau di bawah US$670 per ton.
Tarif pungutan lantas naik secara progresif mengikuti pergerakan harga CPO dari US$60 per ton saat harga CPO di kisaran US$670 sampai US$695 per ton dan sampai maksimal US$225 per ton saat harga CPO melampaui US$995 per ton.
Baca Juga
Dalam rancangan terbaru, tarif pungutan akan naik US$20 per ton untuk setiap kenaikan harga referensi CPO US$50 per ton. Tarif flat juga akan diberlakukan saat harga referensi CPO berada di atas US$1.000 per ton, yakni senilai US$175 per ton.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengemukakan penurunan pungutan ekspor telah disesuaikan dengan dinamika pasar dan kebutuhan dana untuk mengembangkan industri hilir sawit dan program sawit rakyat.
“Penurunan levy ini diharapkan memberikan ruang gerak perusahaan untuk berinvestasi dan meningkatkan kapasitas produksi sehingga menyerap tenaga kerja tambahan. Ini penting saat pemerintah ingin pemulihan ekonomi berjalan lebih cepat,” kata Joko, Rabu (23/6/2021).
Dia juga berpandangan pungutan ekspor yang rendah bisa meningkatkan daya saing sawit di pasar internasional. Sebagaimana diketahui, eksportir harus merogoh biaya tambahan sampai US$399 per ton yang berasal dari akumulasi kewajiban pembayaran pungutan ekspor dan bea keluar.
Per Juni, bea keluar yang dikenakan untuk ekspor adalah US$183 per ton karena harga referensi telah berada pada rentang Rp1.200 sampai US$1.250 per ton. Sementara untuk PE telah mencapai US$255 per ton karena harga CPO stabil di atas US$995 per ton.
“Peningkatan ekspor sawit sangat penting karena akan menjaga neraca perdagangan Indonesia tetap positif, bahkan surplusnya akan makin besar,” kata Joko.
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag Kasan Muhri belum bisa memberi komentar mengenai rencana pemberlakuan tarif baru pungutan ekspor sebelum PMK terkait diterbitkan. Dia mengatakan terdapat aspek yang belum disampaikan pemerintah mengenai kebijakan ini.
“Saya akan berikan respons ketika aturannya sudah terbit untuk memastikan regulasi pastinya. Ada aspek yang belum disampaikan, yakni untuk besaran pungutan pada harga referensi mulai US$750 per ton,” kata Kasan.
Dia mengatakan besaran pungutan tarif pada harga referensi ambang batas perlu diperjelas karena pada level tersebut bea keluar juga mulai diberlakukan.
“Kalau dalam ketentuan bea keluar jelas, jika harga di bawah US$750 per ton tidak ada pengenaan bea keluar,” ujarnya.