Bisnis.com, JAKARTA — Koalisi masyarakat yang tergabung dalam gerakan #BersihkanIndonesia mengajukan permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) atas sembilan pasal dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Uji materiil ini diajukan oleh dua warga dan dua lembaga masyarakat sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Adapun dua warga yang menjadi penggugat adalahNurul Aini, petani dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur dan Yaman, nelayan asal Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Provinsi Bangka Belitung.
Substansi pasal-pasal yang dipersoalkan antara lain berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba, jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang, perpanjangan izin otomatis atas kontrak karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya di pembangkitan.
Muhammad Isnur, Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengatakan bahwa UU Minerba adalah gambaran utuh oligarki yang telah menguasai kebijakan negara. Pengesahan di tengah rakyat dicekik krisis dan pandemi, batas antara penguasa dan pengusaha dalam proses lahirnya perundang-undangan semakin kabur yang justru terlihat menyatu oleh kepentingan bisnis.
“UU ini sangat terlihat dibuat untuk memenuhi kepentingan tambang dan menyingkirkan hak warga negara yang dijamin konstitusi. UU ini sangat bertentangan dengan prinsip perlindungan hukum, partisipasi warga, keadilan, desentralisasi, dan demokrasi ekonomi yang sudah digariskan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Kami berharap MK berani memutus untuk mengabulkan permohonan rakyat sebagaimana putusan-putusan sebelumnya terkait sumber daya alam,” ujar Isnur melalui siaran pers, Senin (21/6/2021).
Juru Bicara WALHI Dwi Sawung menuturkan, secara substansial revisi UU Minerba tidak mampu menjadi jawaban nyata untuk memulihkan lingkungan dari kerusakan yang disebabkan kegiatan pertambangan.
“Industri pertambangan diberikan keleluasaan untuk tetap beroperasi meski di wilayah yang bertentangan dengan tata ruang. Pemegang Kontrak Karya dan PKP2B (IUPK) juga diberikan perpanjangan izin otomatis tanpa evaluasi dan lelang,” kata Sawung.
Sawung menambahkan, keberadaan UU Minerba yang baru dengan kata lain hanya memiliki orientasi untuk terus melanggengkan praktek eksploitasi sumber daya alam, khususnya batu bara. “Padahal, sumber energi kotor tersebut semakin ditinggalkan, sebab berdampak serius terhadap kelestarian lingkungan, krisis iklim, dan kesehatan masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Nurul Aini, petani dari Desa Sumberagung, Banyuwangi, Jawa Timur dan Yaman, nelayan asal Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Bangka Belitung merupakan korban intimidasi dan represi aparat keamanan saat bersama warga desanya berjuang melindungi sumber kehidupannya dari dampak kehancuran pertambangan.
“UU Minerba ini hanya melindungi tambang. Kalau UU itu dihapuskan, masyarakat aman. Perusahaan tidak bisa mengkriminalisasi warga lagi,” kata Nurul Aini.