Bisnis.com, JAKARTA - Guncangan perdagangan yang dipicu oleh tarif sepihak antara Amerika Serikat dan China telah memangkas pertumbuhan 3 hingga 5 tahun di negara-negara yang terkena dampak.
Laporan dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang melihat masa depan rantai nilai global pascapandemi menemukan bahwa perdagangan di dalam jalur pasokan tersebut menyusut secara absolut bersama dengan jenis perdagangan lainnya.
Namun, rantai pasok akan tetap menjadi inti dari pemulihan ekonomi di kawasan Asia-Pasifik bahkan ketika produsen global mempertimbangkan untuk memindahkan produksi ke dalam negeri.
Tarif masih diterapkan pada barang bernilai miliaran dolar di bawah perang dagang AS-China yang dimulai di bawah Presiden Donald Trump.
"Oleh karena itu, guncangan kebijakan perdagangan sangat besar. Namun, sementara ada beberapa hubungan rantai nilai global yang terurai, sama sekali tidak ada disintegrasi model secara keseluruhan," tulis UNDP dalam laporannya, dilansir Bloomberg, Kamis (17/6/2021).
Sementara dampak dari guncangan itu sama sekali tak bisa diabaikan, tidak adanya kebijakan yang dirancang untuk mendisrupsi penyebaran produksi membuat upaya untuk mengubah prevalensi perdagangan rantai nilai global menjadi mahal.
Baca Juga
AS dan China menyetujui kesepakatan perdagangan parsial pada 2020, meskipun China tidak pernah memenuhi komitmen pembeliannya.
Perwakilan perdagangan AS sejak itu menyatakan bahwa ada ketidakseimbangan yang signifikan dalam hubungan perdagangan antara dua ekonomi terbesar dunia.
Selain perang dagang, kebijakan perdagangan yang membatasi selama pandemi Covid-19 juga telah memperkuat guncangan karena negara-negara produsen membatasi ekspor. Masalah pasokan datang karena biaya pengiriman barang di seluruh dunia meroket, mengancam untuk meningkatkan harga konsumen dan menambah kekhawatiran di pasar global yang sudah bersiap untuk mempercepat inflasi.
"Apa yang kami lihat baik karena pandemi maupun karena perang dagang adalah bahwa negara-negara, termasuk China dan AS, sebenarnya memiliki risiko yang terdiversifikasi,” kata Kanni Wignaraja, asisten sekretaris jenderal PBB dan direktur UNDP Asia-Pasifik.
Laporan tersebut menemukan potensi yang signifikan bagi negara-negara untuk meningkatkan perdagangan melalui dua kesepakatan besar, Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dan Kemitraan Trans-Pasifik Komprehensif dan Progresif (CPTPP), yang keduanya melibatkan sejumlah ekonomi di Asia.
Negara-negara yang berpartisipasi dalam CPTPP dapat menikmati setara dengan 12 tahun integrasi rantai nilai global tambahan berdasarkan tingkat yang diamati antara 2000 dan 2018, sementara negara-negara RCEP dapat melihat peningkatan yang setara dengan sekitar lima tahun.
Laporan ini juga menyarankan ekonomi Asia, yang bergantung pada ekspor peralatan transportasi, elektronik, tekstil dan pakaian jadi di antara barang-barang lainnya, harus fokus pada pengembangan kebijakan redistribusi umum dan jaring pengaman sosial.
Keduanya lebih efisien dan efektif dalam jangka menengah dan panjang dalam mempromosikan tujuan pembangunan manusia daripada membatasi arus perdagangan dan investasi.