Bisnis.com, JAKARTA — Belum lama ini, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan garis besar krisis keuangan yang dialami PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. ini diawali oleh permasalahan dengan 36 lessor.
Lessor adalah perusahaan yang menyediakan jasa leasing atau menyewakan barang dalam bentuk guna usaha. Lessor tidak hanya menyediakan barang sewa dalam bentuk fisik, tetapi juga merek dagang hingga kekayaan intelektual.
Dalam kasus Garuda Indonesia, aktivitas leasing yang dilakukan adalah pengadaan armada pesawat. Praktik ini bukan hal janggal, karena banyak perusahaan menyewa barang produksi hingga kendaraan operasional.
Lalu berapa kerugian emiten bersandi GIAA ini dari kegiatan leasing tersebut?
Berdasarkan keterangan Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra pada awal tahun ini, GIAA telah memutuskan mengakhiri kontrak secara dini atau early termination dengan lessor Nordic Aviation Capital (NAC) yang sebetulnya jatuh tempo pada 2027. Pemutusan kontrak secara dini itu membuat perseroan hemat hingga lebih dari US$220 juta.
Adapun dalam kontak dengan Garudan Indonesia, lessor NAC memberikan sewa berupa pesawat CRJ-1000. Namun selama 7 tahun mengoperasikan pesawat tersebut, perusahaan pelat merah ini justru rugi lebih dari US$30 juta per tahun atau Rp427,85 miliar (kurs Rp14.261).
Dengan asumsi kurs sekitar Rp14.000, setiap bulannya Garuda Indonesia mendera kerugian sekitar Rp35 miliar. Sementara itu tarif sewa untuk 12 pesawat tersebut US$27 juta atau Rp385,07 miliar.
GIAA sebelumnya juga telah menegaskan akan mengurangi penggunaan pesawat seperti Bombardier dan ATR lantaran dianggap tidak cocok dengan Garuda. Irfan menjelaskan pesawat itu biasanya digunakan untuk penerbangan bolak-balik yang tidak cocok dengan karakter orang Indonesia.
"Jadi gini kaya Bombardier itu kan kaya pesawat commuting, commuting itu artinya orang terbang dengan itu kalau bolak-balik. Pesawat itu bagus kalau 3 jam-an terbang sementara di Indonesia orang commuting cuma ke Bandung di luar itu orang nginep nggak commute," kata Irfan.
Garuda pun berupaya mengembalikan pesawat yang tidak sesuai kepada pihak lessor. Diantaranya tipe CRJ-1000 bombardier dengan kondisi saat ini sebanyak 18 pesawat yang sudah dikandangkan. Kesepakatan terkait dengan pesawat CRJ-1000 telah diselesaikan saat Singapore Airshow pada Februari 2012 silam.
Baca Juga : Bos Garuda (GIAA) Kembalikan 2 Pesawat ke Lessor |
---|
Pada saat itu, Garuda Indonesia awalnya setuju untuk memperoleh enam pesawat CRJ-1000, dengan opsi untuk menerima pengiriman 12 jet tambahan. Kontrak tersebut senilai US$1,32 miliar. Garuda Indonesia menerima pengiriman jet regional pertama buatan Kanada itu pada Oktober 2012. Bombardier mengirimkan CRJ1000 terakhir ke Garuda tersebut pada Desember 2015.