Bisnis.com, JAKARTA — Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani agar segera melakukan revisi Peraturan Menteri Keuangan PMK 191/PMK.05/2020 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Permintaan tersebut dilatarbelakangi oleh anggapan SPKS bahwa peraturan tersebut dibuat hanya untuk menyokong usaha perusahan biodiesel.
Sebelumnya, pelaku usaha industri hilir kelapa sawit meminta peraturan ini tetap dilanjutkan karena bisa mendorong industri hilir kelapa sawit dan menjaga stabilitas harga Tandan Buah Segar (TBS) petani.
Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto mengatakan peraturan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru ini sebenarnya hanya untuk menyokong kepentingan para pelaku industri hilir sawit melalui program besar biodiesel B30 dan untuk memuluskan ambisi untuk menaikan program biodiesel ke B40.
Menurutnya, anggapanitu terbukti dengan alokasi Rp57,72 triliun yang sudah di terima oleh perusahan biodiesel sepanjang 2015-2020 dari dana pungutan CPO tersebut.
"Kemudian program biodiesel tersebut tidak ada keterkaitannya dengan kenaikan harga CPO ataupun harga TBS saat ini. Kenaikan ini disebabkan oleh musim dan produksi yang menyusut sehingga kebutuhan sawit sawit meningkat, ditambah dengan pemulihan ekonomi yang sudah membaik karena Covid-19 khususnya negara negara tujuan ekspor sawit," katanya melalui siaran pers, Kamis (27/5/2021).
Mansuetus menyebut bagi petani sawit, peraturan PMK 191/PMK.05/2020 ini sangat merugikan karena bisa mengurangi harga TBS petani.
Harga CPO acuan penghitungan harga TBS yang dilakukan oleh dinas perkebunan setiap provinsi jika ada pungutan CPO yang tinggi maka harga CPO yang menjadi acuan tadi akan rendah padahal harga CPO sebelum pungutan itu tinggi. Contoh misalnya harga CPO pada minggu ke pertama Mei 2021 sebesar US$1.100-1.200 per ton.
Dengan harga CPO ini, jika disimulasikan dengan PMK 191/PMK.05/2020 terbaru maka pungutan sebesar US$255 per ton CPO. Kondisi ini secara langsung mengurangi harga CPO menjadi acuan harga TBS petani, serta dampaknya langsung pada penurunan harga TBS petani di lapangan.
"Dengan analisis SPKS pada pemberlakukan pungutan CPO pada harga US$1.100-1.200 per ton pada harga TBS petani kelapa sawit, diperoleh dengan pungutan sebesar US$255/ton CPO maka pengurangan harga TBS di tingkat petani kelapa sawit sebesar Rp600-800 per kg TBS para petani sawit baik petani plasma maupun swadaya," ujarnya.
Mansuetus juga mengatakan perusahan-perusahan industri hilir biodiesel B30 tidak memperhatikan petani sawit. Hal ini dapat dilihat dari belum ada koperasi atau kelembagaan petani kelapa sawit di Indonesia bermitra secara langsung dengan mereka sebagai pemasok bahan baku biodiesel.
Pengecekan SPKS di lapangan di Riau misalnya di 4 kabupaten Siak, Pelalawan, Rokan Hulu, dan Kampar petani sawit swadaya tetap saja menjual TBS kepada tengkulak dengan harga yang rendah walaupun di sekitar mereka ada perusahan yang terlibat dalam bisnis industri hilir biodiesel B30. Akibatnya, petani sawit swadaya mengalami kerugian sekitar 30 persen dari pendapatan yang seharusnya diterima.
Mansuetus menambahkan di tingkat pengelolaan dana yang dilakukan oleh BPDP Sawit juga tidak ada transparansi kepada publik. Bahkan di dalam kelembagaan BPDP Sawit, dia mengklaim ada kelompok pengusaha sawit dan biodiesel duduk sebagai komite pengarah sehingga sangat memengaruhi alokasi penggunaan dana sawit tersebut selama ini.
"Untuk itu SPKS meminta kepada Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian untuk segera merevisi pungutan CPO melalui PMK 191 dan serta dana pungutan dialokasikan secara adil terutama untuk petani sawit. SPKS juga minta transparansi penggunaan dana oleh industri sawit dan transparansi penggunaan dana di BPDPKS sebab hingga saat ini tidak ada laporan publik terkait penggunaan dana sawit tersebut," katanya.