Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah tengah menyusun kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN). Dampak dari kebijakan ini bisa melemahkan daya saing sehingga dapat sulit menarik investor.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan bahwa dibandingkan dengan anggota Asean, besaran tarif PPN Indonesia sebesar 10 persen sama dengan lainnya.
“Ketika ada jenis pajak baru yaitu kenaikan PPN, mau tidak mau investor akan berpikir ulang, mengalkulasi biaya produksi, dan apakah dalam jangka pendek, menengah, serta panjang investasi bisa kembali dengan tarif pajak,” katanya melalui diskusi virtual, Selasa (11/5/2021).
Tauhid menjelaskan bahwa kenaikan PPN yang akan berlaku pada 2022 ini dianggap tidak tepat. Sampai saat ini tidak ada yang tahu kapan pandemi akan berakhir.
Apabila ini belum bisa diatasi, beban ekonomi masih besar. Seharusnya, pemerintah memberi relaksasi, bukan malah menaikkan pungutan.
“Situasi ini juga dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat yang masih stagnan bahkan sampai 2022. Buat apa dibebankan kenaikan PPN ini?” tuturnya.
Pemerintah dalam menaikkan PPN akan menggunakan skema multitarif. Bakal ada produk barang dan jasa yang besaran pungunannya naik dan ada pula yang turun, tapi produknya masih dalam pembahasan.
Dengan mengacu pada UU No. 42/2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 8.1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pemerintah bisa mengubah besaran pungutan.
UU tersebut mengatur perubahan tarif paling rendah berada pada angka 5 persen dan paling tinggi 15 persen. Saat ini, tarif PPN berlaku untuk semua produk dan jasa, yakni 10 persen.