Bisnis.com, JAKARTA – Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dinilai akan menghadapi tantangan yang semakin berat.
Ketua Umum Asosiasi Panas Bumi (API) Priyandaru Effendi mengatakan saat ini pemerintah lebih gencar memperbanyak pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan mengurangi target pengembangan PLTP. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat memperlambat pengembangan PLTP.
Pengembangan PLTS lebih digenjot karena harga listriknya dinilai jauh lebih murah dibandingkan dengan harga listrik dari PLTP.
"Sebetulnya setiap teknologi energi terbarukan tidak dituntut untuk saling berkompetisi, tapi saling melengkapi. Jadi, masing-masing sudah punya porsi. Seharusnya jangan dibandingkan harganya, kalau ini dibilang harus sama itu, enggak bisa jalan. Semua punya keunggulan masing-masing," ujar Priyandaru dalam webinar pada Kamis (6/5/2021).
Menurutnya, adanya gap harga listrik yang diharapkan pengembang panas bumi dengan kemampuan PT PLN (Persero) memang masih menjadi tantangan pengembangan panas bumi.
Dia mengatakan internal rate of return (IRR) yang memadai menjadi parameter utama dalam menentukan harga listrik PLTP. Hal ini mempertimbangkan suku bunga pinjaman terhadap proyek PLTP yang cukup tinggi karena risiko eksplorasi yang cukup besar.
Baca Juga
Di sisi lain, kapasitas produksi PLTP yang tidak cukup besar juga menjadi salah satu faktor yang membuat harga listrik dari PLTP cukup tinggi.
"Kalau bisa produksi kapasitas sebesar PLTU sampai 1.000 MW saya yakni harga panas bumi bisa sangat-sangat murah. Tapi nyatanya produksi panas bumi itu rata-rata 50-100 MW. Itu salah satu driver yang membuat harga enggak bisa murah," kata Priyandaru.
Presiden Direktur PT Medco Power Indonesia Eka Satria menyampaikan hal yang serupa. Menurutnya, harga listrik dari PLTP tidak bisa bersaing dengan harga listrik dari PLTS sehingga tidak bisa dibandingkan secara apple to apple dalam pengembangannya.
"Kami percaya harga solar PV bisa di bawah US$5 sen, tapi panas bumi tidak bisa di bawah sana," kata Eka.
Namun demikian, jika mempertimbangkan life cycle cost-nya, harga listrik dari PLTP dinilai bisa lebih murah dibandingkan dengan PLTS. Hal ini mengingat PLTP memiliki kelebihan dibandingkan dengan PLTS, yakni bisa menjadi base load di sistem jaringan kelistrikan. Sedangkan PLTS bersifat intermiten sehingga perlu dilengkapi dengan teknologi baterai yang investasinya masih cukup mahal.
"Kalau lihat cost baterai itu US$7 sen hingga US$12 sen, harga energi [PLTS] mungkin bisa US$6 ditambah US$12 sen jadi US$17 sen. Sementara panas bumi bisa berikan benefit ke kita, yakni tarif dengan base load yang sangat andal," tutur Eka.
Dia pun berharap pemerintah dapat memberikan sinyal keberpihakan yang kuat dan jelas kepada investor agar pengembangan panas bumi bisa terakselerasi.